#MenujuHamil - Promil Kali Kedua (?)
"Mas!" teriak saya dari kamar mandi pagi hari sebelum bersiap berangkat kerja.
Hazmi terperanjat, dia bangkit segera setengah berlari ke kamar mandi.
"Kenapa?"
"Ada flek, di sini." Ucap saya menunjukkan bercak coklat merah muda di celana dalam saya pagi itu.
Saya udah bisa menebak juga sih, reaksi Hazmi yang cuma bingung mengangkat alis karena nggak ngerti maksudnya. Sebetulnya saya juga nggak ngerti-ngerti amat, asumsi saya berasal dari hasil browsing di Google dan "jarene" teman-teman kami. Kalau ada flek di luar tanggal menstruasi perempuan yang sexually active, bisa jadi sebuah pertanda kehamilan. Who knows?
Sudah lebih dari dua bulan saya telat menstruasi. Semoga ini jadi pertanda baik, pikir kami. Buru-buru saya cari test pack, mengambil sample dengan tiga merk test pack yang berbeda. Menunggu sambil berdoa hasilnya garis dua.
Kami mulai menduga-duga, bersiap teriak alhamdulillah apapun hasilnya. Yah, lagi-lagi hanya ada satu garis yang tertera pada ketiga alat uji kehamilan itu. Ada keheningan sesaat di antara kami, mungkin saat itulah beberapa detik hati dan sedikit harapan kami pupus.
"Hahaha, alhamdulillah, yaudah belom rejeki aja." ujar saya sambil ketawa, disambut puk-puk Hazmi. Lagipula, ini bukan kali pertama kami lakukan cek kehamilan.
Lalu, yang kini jadi pertanyaan, mengapa ada flek, dong?
ITU FLEK APA, YA RABB? *emot krayyyy*
***
Memilih Klinik Seperti Memilih Pasangan
Ada jeda entah berapa bulan sebelum kami memutuskan untuk promil di tempat lain. Pertimbangannya sederhana, kami cari tempat yang paling dekat dengan rumah dan kantor kami. Itu saja. Kami telah siap dengan segala konsekuensi, termasuk mengulang proses dari awal.
Setelah kejadian flek tempo hari, kami segera cari klinik dokter obgyn. Pencarian cukup pelik, namun syukurlah kami dapatkan salah satu klinik untuk berobat sekaligus promil kali kedua, yep untuk kali kedua: Klinik Bayi Jenius Semarang. Sebelum periksa, saya pastikan dulu pada petugas administrasi apakah perlu reservasi atau bisa langsung datang dan ambil nomor antrean. Proses reservasi cukup mudah karena seluruhnya by WA. Saya tinggal mengisi detail reservasi dan keluhan, lalu mendapat nomor antrean dan masuk di kloter berapa yang telah ditentukan.
Kami dapat informasi Klinik Bayi Jenius dari rekomendasi teman-teman baik kami. Sama seperti informasi klinik sebelumnya, keduanya pun dokter hebat di Semarang. Jadi kami tidak pernah ragu untuk berobat.
Beliau adalah dr. Aristo Farabi, Sp.OG yang kami temui di Klink Bayi Jenius Semarang. Setelah proses konsultasi singkat mengenai detail keluhan saya (diselingi curcolan juga hehe), dokter mulai observasi dengan USG Transvaginal. Saya nggak ngerti-ngerti amat pola atau gambar gerak yang muncul di monitor di depan saya itu. Mengutip dari artikel Halodoc, barangkali ada teman-teman yang belum tau, USG transvaginal merupakan metode pemeriksaan internal dengan alat bernama transduser sepanjang 2-3 inci yang dimasukkan langsung ke dalam Miss V. Nah, dengan alat ini dokter akan memperoleh gambar nyata yang lebih detail dari organ reproduksi wanita, rahim, indung telur, saluran telur, dan leher rahim.
Oiya, sebetulnya ini nggak perlu dibahas juga, tapi karena banyak pertanyaan dari teman-teman, maka saya coba bahas sedikit, ya. Ketika akan dilakukan USG Transvaginal, bawahan apapun yang dikenakan: jeans, rok, celana gemes, celana kain dsb harus dilepaskan. Agak kurang nyaman karena saya harus melepaskan celana di depan orang lain, tapi untungnya ada suster yang membantu di sana. Jadi saya nggak nyopot celana sembarangan, suster membentangkan kain untuk menutupi proses sakral pencopotan celana saya sebelum naik ke "singgasana" pasien. Seluruh proses pemeriksaan menjadi sangat nyaman karena bantuan dari para suster yang bertugas, mulai dari proses reservasi, pendaftaran kedatangan, proses tindakan, pengambilan resep, hingga pembayaran. Begitu perhatian, hangat, dan sangat baik.
Part paling dramatis selalu ada setelah dokter melakukan tindakan. Berdebar bukan main saya menerka-nerka hasil pemeriksaan dokter dengan gestur atau mimik mukanya: entah menelaah, berpikir, mengernyitkan dahi, mencatat sesuatu, atau menghela napas. Saya selalu gugup tiap kali dokter akan bicara. Baik saat dengan Dokter Adi, ataupun dengan Dokter Aristo.
Sambil menjelaskan, Dokter Aristo menunjukkan hasil USG pada kami, gambaran telur yang tidak berhasil dibuahi dan belum dewasa itu tercetak jelas di sana. Tampak berkantong-kantong kecil membentuk lingkaran tak beraturan. Setelah diberikan beberapa obat agar saya minum tiap harinya, kami diberi waktu untuk menghabiskan obat tersebut hingga appointment selanjutnya: jika saya sudah menstruasi.
Dipermainkan Siklus Menstruasi
Satu bulan berlalu, kami buat janji reservasi lagi. Dokter kembali melakukan USG Transvaginal untuk memeriksa apakah ada perubahan setelah minum obat dan vitamin yang diberikan bulan lalu. Saya menstruasi, setelah telat selama 3 bulan, ia keluar demikian deras, saya ingat betul itulah menstruasi terlama dan terderas saya sejak menstruasi paling deras dan paling lama pada masa sekolah menengah dulu. Saya ingat kembali, itu hari ke-3 saya menstruasi (jika tidak salah). Kembali lagi saya diberikan obat yang sama agar terus diminum hingga bulan selanjutnya. Dokter meminta kami datang pada hari ke-11 setelah menstruasi.
Hari cepat berlalu, kami mengulang proses reservasi seperti sebelumnya. Dokter menanyakan beberapa pertanyaan dasar, dilanjutkan USG transvaginal lagi. Dokter memutuskan untuk menaikkan dosis obatnya, kami mengerti ini bisa jadi pertanda buruk, pun pertanda baik.
Dokter meminta kami untuk datang lagi setelah melakukan cek hormon, kaitannya dengan pemberian resep obat sesuai kebutuhan tubuh kami berdua. Ada beberapa catatan cek hormon dan laboratorium klinik rekomendasi untuk kami. Dokter melanjutkan, "Bapak, Ibu, memiliki keturunan itu hal yang tidak bisa kita atur, namun bisa kita upayakan. Kuncinya kesehatan pikiran, kebahagiaan Ibu dan Bapak." Kami mengangguk setuju.
Setiap kali ke dokter, saya selalu memastikan satu hal.
"Tapi, masih boleh minum kopi 'kan, Dok?"
Dokter menjawab cukup panjang, intinya sih boleh, asal rendah gula, dan tidak terlalu sering. Karena PCOS berkawan baik dengan diabetes.
Yess! Yang penting boleh minum kopi. hihihi
Hari Tenang
Appointment pada bulan berikutnya, kami datang ke dokter lagi. Seperti biasa, di Klinik Bayi Jenius kami reservasi dulu H-1 melalui WA, dan kami sudah terdaftar. Syukurlah kami selalu mendapat kloter pertama. Saya ke klinik usai pulang kantor pukul 17.00, lokasi klinik ada di seberang Masjid At-Taqwa daerah Jl.Kelud, Gajahmungkur, Semarang. Di sana ruang tunggu teras telah diisi sekitar 3-5 pasangan, beberapa mungkin pasangan muda seperti kami, beberapa sedang hamil (entah anak ke berapa), dan lainnya terlihat di antrean dokter anak. Ada kursi panjang berwarna putih, berhadap-hadapan dengan para pasien yang lain. Saya menunggu di luar, cuacanya mendung, sebentar lagi mungkin hujan turun. Hazmi masih dalam perjalanan dari kantornya, bermacet-macet, tapi dia pasti tetap sat-set.
Hazmi tiba sekitar 40 menit kemudian, hujan turun cukup deras di Semarang. Kami pindah ke ruang tunggu di dalam, sebab hujan disertai petir, menyambar ke mana-mana. Biasanya pukul 19.00 kami sudah bisa masuk, namun ada suatu hal yang lebih genting, beberapa waktu lalu, sepertinya suster mendapat telepon, kabarnya seorang pasien akan melahirkan, Dokter Aristo bergegas. Klinik masih kondusif, suster menginformasikan pada pasien yang menunggu bahwa Dokter Aristo sedang melakukan tindakan di suatu rumah sakit, dan akan membutuhkan waktu sekitar 45 menit atau paling lama 1 jam. Itu yang kami dengar. Benar saja, beliau tiba 1 jam kemudian, kami dipersilakan masuk.
Di ruang tindakan, kami diperiksa lagi, seperti biasa, ditanyai apakah sudah menstruasi atau belum, dokter juga lakukan USG Transvaginal dan melakukan analisis singkat dengan hasil USG saya. Dokter menulis beberapa catatan di buku periksa kami, rekomendasi pemeriksaan kami berdua di sebuah lab untuk cek beberapa hormon, tujuannya agar tindakan selanjutnya bisa lebih mengerucut ke hormon yang memang perlu "dibenerin". Biayanya nggak main-main, setidaknya untuk sekali tes bisa senilai UMR Kota Semarang tahun 2021 kala itu. Ya, artinya kami harus menguras tabungan kami untuk menjalani serangkaian cek lab tersebut.
Ada keheningan beberapa detik sebelum dokter bicara lagi dengan kami. Keheningan yang kami tahu betul seperti saat kami lakukan tes kehamilan beberapa bulan lalu di sebuah toilet kecil di rumah kami sebelum berangkat kerja. Keheningan yang tak bisa kami ceritakan meskipun beberapa detik saja, namun dapat menguraikan bagaimana perasaan kami.
Dokter mulai berbicara, singkatnya seperti ketika kita ingin memiliki sesuatu, usaha belum tentu berhasil dalam sekali langkah, selalu ada langkah atau laju lainnya perlu dilakukan demi mencapai tujuan dan hasil tertentu. Dokter menyarankan kami untuk melakukan cek lab infertilitas buat kami berdua. Jika bisa secepatnya, tindakan juga bisa segera dilakukan secepatnya. Tapi dokter pun tidak mendesak kami harus segera mendapatkan hasil cek lab. Beliau menambahkan,
"Bapak, Ibu, Tuhan tidak suka upaya yang berlebihan sampai di luar batas kekuatan/kesanggupan kita. Berbesar hati, berdoa, bersabar, yakin setiap hal baik datang pada waktu yang tepat. Tunggu. Dengan. Sabar. Tuhan pasti Dengar."
Kami keluar dari klinik, dengan perasaan campur aduk: bisa dibilang patah hati, tapi nggak patah-patah banget sih, sedih tapi tak sebegitunya, yah bohong kalau saya bilang kami senang, mungkin rasanya cenderung capek, lelah sekali menjalani proses ini secara berulang, meski sudah kami niatkan, tetap saja ketika menemui jalan yang sama dengan sebelumnya, kami rasa harus mengambil jeda. Lagi.
***
Di parkiran, ah ya, ini yang belum saya ceritakan di awal cerita. Bagian paling melegakan ada di tempat parkir, datang dan pergi kami selalu disambut oleh seorang bapak juru parkir yang ramahnya di luar nalar, coy! Seorang juru parkir terbaik di Semarang yang pernah kami temui ada di Klinik Bayi Jenius Semarang! Maksudnya, tentu banyak juru parkir yang hanya sekadar membantu dan menata keluar/masuknya kendaraan di suatu tempat. Namun juru parkir di Klinik Bayi Jenius lebih dari sekadar juru parkir biasa. Begitu akrab, seolah kami telah belasan tahun mengenalnya. Tak bergantung dengan situasi langit, cerah maupun hujan deras, dia selalu sepenuh hati menyambut dan menyapa kami. Siapapun pengunjung Klinik Bayi Jenius pasti setuju dengan kami soal juru parkir yang ramahnya bukan main ini.
Pada akhir tulisan ini, saya sangat berterima kasih kepada Dokter Aristo, para suster dan staff yang bertugas, juga bapak juru parkir telah demikian baik merawat dan memberikan pelayanan nan hangat untuk kami berdua. Sampai jumpa lagi, Klinik Bayi Jenius. Suatu saat kami akan berkunjung kembali pada waktu yang tepat.
PS. Rangkaian cerita ini kami alami setahun yang lalu, tulisan ini baru sempat kami unggah sekarang setelah kami dapat berdamai dengan benak dan riuh di kepala masing-masing.