Meraba Rasa Lidah Mertua (Bagian 1)



Iya, kamu nggak salah baca. 

Namun, sebelum teman-teman membaca lebih jauh, sejatinya tulisan ini bukan ulasan atau riset botani menyoal tanaman lidah mertua. Silakan meninggalkan halaman ini agar kalian tidak semakin nggondok karena kesal dengan tulisan saya. hehe.

Ngomong-ngomong, jika dicari dari literatur di internet, sekali klik "search" untuk asal muasal nama tanaman lidah mertua, kita akan menemukan bacaan yang sama: Sansevieria dikenal dengan sebutan tanaman lidah mertua karena bentuknya yang runcing dan tajam. Begitu kata Wikipedia dan hampir seluruh artikel mengandung arti nama lidah mertua. 

Pemberian nama ini sepertinya karena sebagian besar mertua pada umumnya akan berlidah tajam kepada menantunya. Gara-gara tanaman ini, saya sebagai calon menantu—saat itu—jadi tengsin dan ciut karena ditakut-takuti oleh ragam cerita atau bahkan pengalaman pribadi teman-teman saya. Kengerian ini semakin menjadi-jadi saat beberapa teman saya yang sok tahu itu memupuk rasa takut akan sosok mertua, jauh sebelum saya menikah dengan Reza. Ada-ada saja cerita mereka soal mertuanya yang katanya galak, rese, tukang adu domba, pelit, otoriter, dan segala pertunjukan sadis lain yang mereka peragakan dengan penuh penjiwaan. Pokoknya seolah-olah menantu perempuan yang tinggal dengan mertuanya pasti menderita atau hidup penuh mimpi buruk.

Saya bayangkan dalam ingatan saya tentang orang tua Reza sejak awal kami pacaran—dan hingga saat kami menikah, tidak pernah berperilaku sedemikian keji seperti cerita teman-teman saya soal para mertua mereka. Kepada ibu, ingatan saya melulu dipenuhi tutur kata lembut khas penyiar radio RRI tanpa beda, perhatiannya pada hal-hal besar sampai terkecil pun membuat saya takjub, apalagi saat kami akan bepergian. ibu akan jadi orang paling sibuk berhari-hari sebelumnya karena menyiapkan ini dan itu—yang kami pikir tidak penting tapi jadi item paling dicari nantinya. Sejak Reza dan saya masih pacaran, seingat saya, ibu hanya marah saat Reza pulang kemaleman, bangun kesiangan, atau lupa punya janji. Itupun lebih terdengar seperti sayup-sayup suara angin sore di pinggir pantai bagi saya. Demi Tuhan, cara bertutur ibu memang selembut itu.

Kepada bapak, ingatan saya mengenali beliau lewat masakan-masakan khasnya, baik itu dibuat terburu-buru ataupun diracik demikian cerdik. Setup atau kolak pisang andalan bapak seringkali disuguhkan ketika saya main ke rumah Reza. Ada tempe goreng, aneka sambal tomat, sambal kecap, sambal rujak, sambal tempe, sayur sop, dan banyak lagi. Bapak tak pernah habis ide untuk olahan makanan yang tersisa, tidak sulit membuat sayur, lauk, atau camilan jadi segar dan layak makan lagi. Akhir-akhir ini saya baru tahu Bapak memang sebegitu sayang dengan makanan sisa dan anti buang-buang makanan. 


***


Ingatan-ingatan manis itu semakin menutupi ucapan teman-teman saya soal perasaan ngeri tinggal bersama mertua. 

"Emang belum aja, Jak." Ucap mereka meyakinkan saya. 

Mereka tentu bermaksud menggoda. Tapi saya harus jujur, rangkaian cerita itu membuat saya diam dan terus berpikir. Bukan-bukan, itu tidak mempengaruhi saya dalam melihat kedua orang tua Reza—yang kini mertua saya. Saya berpikir dan mencari, segala beda, sikap buruk, atau perlakuan tidak enak apa yang pernah saya terima. Semakin saya berpikir, semakin saya pusing. Saya tidak berhasil menemukan satu pun. 

Ibu dengan lugu dan tutur kata lembutnya, bapak dengan masakan dan ketegasannya. Jika pun pernah kami berselisih, kami hanya bicara dengan bahasa kasih. Terlalu sulit bagi saya membayangkan bapak dan ibu marah, dan jika suatu saat itu betul terjadi kepada saya, memangnya kenapa, ya?

Ibu dan bapak saya sendiri, tidak pernah diam saja kalau saya salah. Lagi pula, saya memang patut diomelin. Hahaha. Karena berdasarkan pengalaman saya nih, setelahnya pasti diberi uang jajan atau diberi makan, walau sebelumnya uring-uringan dan drama nangis luar biasa. Ibu dan bapak saya tidak pernah diam saat saya belok salah jalan. Bukankah begitu cinta seharusnya bekerja? 


Kalau ternyata saya berjalan menuju jurang, tentu orang tua saya akan menggandeng saya dan menunjukkan jalan atau cara berbelok menuju tujuan yang benar.


Jujur saja, jauh sebelum menikah, saya dan Reza pernah bicara perihal tempat tinggal kalau kami sudah menikah. Kami sudah rencanakan pindah ke rumah baru kami setelah serah terima kunci dan berbagai urusan administrasi selesai. Juga telah ada dalam rencana menempati kontrakan murah di daerah terdekat dengan kantor kami bekerja di Semarang untuk sementara. Atau kos-kosan kecil yang nyaman untuk kami berdua. Tapi tinggal dengan mertua, toh tidak seburuk yang diceritakan orang-orang. 

Sepertinya saya mulai mengerti, Sansevieria disebut lidah mertua, bukan hanya karena tajam dan lancip tubuh tumbuhan ini, melainkan juga fungsinya yang menjaga. Ia melawan racun udara menggunakan mulut daunnya, menyaring, menjadikan udara bebas polutan, agar orang yang tinggal di sekitarnya menikmati udara segar tanpa cemar.

0 Comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah menanggapi postingan di atas!

My Instagram