#MenujuHamil - Takut Menikah dan Mitos Cepat Hamil

Testpack pada Januari

Ngotot karena dua garis terlihat samar, dua testpack lagi saya keluarkan, agak deg-deg-an waktu saya mencoba kedua testpack baru. Sambil memejamkan mata dan menunggu timer berdering, gemetaran menanti hasilnya. Melonjak bangun dari kasur, buru-buru saya turun ke kamar mandi membawa alat tes kehamilan a.k.a testpack. Saya udah kepedean sejak kemarin karena perut lagi nggak enak, telat menstruasi, mual, dan vertigo nggak habis-habis. Saya bawa wadah kecil untuk urin, satu testpack baru, dan ponsel biar bisa nyetting timer-nya juga. 

Kringgg..kringg..kring..

Pelan-pelan saya membuka mata, hanya ada 1 garis pada masing-masing testpack. Ini sudah bulan ke-3 setelah tanggal pernikahan kami pada 21 November 2020 lalu. Setiap bulan juga tak pernah terlewat bertemu dengan testpack, satu garis lagi, testpack lagi, satu garis lagi sampai kini.


Hari-hari penuh tekanan itu mulai datang

Sebagai pasangan yang baru menikah, tentu kami memulai banyak sekali adaptasi perihal kebiasaan-kebiasaan baru masing-masing. Kebetulan ketolong masa pacaran dua tahun, jadi nggak begitu kaget kalau kami punya sisi iblis juga. Bulan pertama terasa sangat mengesankan, setiap kali bangun masih saling terkesima kami berdua berada di ranjang yang sama, sekaligus terkejut dengan polah tingkah kami selama tidur, betapa beruntungnya kami tidak saling membunuh sepanjang malam. 

Bagaimanapun, pertanyaan itu tentu akan muncul, rasa penasaran bodoh manusia yang kami kira telah selesai, ternyata masih berlanjut. 

Padahal kami sangat enjoy awalnya, menanggapi setiap "sesi tanya-jawab" tidak berarti yang cuma basa-basi itu dalam balutan bercanda, atau sekadar minta doanya saja, yaah.. jawaban standard seperti itu lah. Meskipun lama-lama nyebelin juga orang-orang ini, semakin militan dan nagih jawaban. Lha wong, kami saja sama nggak tahunya dengan semua orang tentang kapan akan diberikan amanah hamil dan memiliki anak oleh Tuhan. Contoh-contoh sesi tanya jawab yang sok asik tapi nggak berguna tuh begini:

"Zak, gendutan nih. Lagi isi ya lu?"

"Kok belum isi, sih. Perasaan hanimun mulu deh."

"Bikinnya teratur kaaan?"

"Goyangan lu kurang manteb kali ah."

"Ah, mungkin kalian aja yang mainnya kurang jos."

Bagi Hazmi, pertanyaan seperti itu tampaknya tidak pernah membebaninya. Teringat saat dulu masih pacaran, saya coba tanyakan skenario-skenario imajiner yang "kurang menyenangkan" dalam pernikahan.

"Jika saja ternyata (na'udzubillah) pasangan kamu belum bisa punya anak, apa kamu akan membatalkan pernikahan? Atau kah akan mengkhianati pernikahan itu?"

Saya agak gugup mendengarnya. Ia menjawab tenang namun tegas.

"Nggak lah. Tujuan kita menikah, semata bukan hanya demi punya keturunan. Cuma karena belum diberi keturunan, bukan berarti seseorang harus mengkhianati atau menggagalkan pernikahannya. Anak itu kan rezeki, namanya juga pemberian ya suka-suka yang memberi, dong. Tugas kita ya ikhtiar, berdoa, dan nggak berhenti berharap."

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu seringkali saya tanyakan karena ketakutan saya terhadap pernikahan. Iya, banyak sekali yang membuat saya takut karena saya perempuan, istri, dan kelak menjadi ibu. Beragam cerita ngeri tentang kehidupan pernikahan yang saya baca, posisi perempuan jarang sekali diuntungkan. Itulah mengapa, pernikahan—dulunya—tidak pernah saya bahas selama pacaran dengan Hazmi, kecuali saat diuber oleh ibu dan bapak saya waktu itu. 

Tapi mendengar jawaban Hazmi demikian, sungguh melegakan. 


Mitos "cepat hamil" yang—mau nggak mau—kami percaya

Dampak dari pertanyaan beruntun menyoal hamil dan hubungan intim adalah kami jadi mudah cekcok nggak penting, mempertanyakan segala hal, menyalahkan diri hampir setiap hari, dan puncaknya adalah pecah tangis kami berdua. Iya, drama abis pokoknya. Saya nggak tahu apakah ini juga dialami pasangan lain pada umumnya atau hanya kami berdua aja. 

Tiga bulan lebih kami menunggu, dengan perasaan campur aduk, secara serampangan mempercayai semua saran dari orang terdekat, teman, kolega, sahabat, bahkan orang tua hingga orang asing, pun pada artikel-artikel tips yang kami baca.

Ada beberapa mitos yang kami lakukan, saya tidak mau ambil pusing apakah melakukan bisa berarti sama dengan mempercayai.
Lying down with legs raised after sex

Mitos itu diawali dengan mengangkat kaki (selama 20-30 menit) seperti gambar ilustrasi di atas setelah berhubungan. Orang-orang bilang ini akan membantu sperma menemukan jalan menuju sel telur. Intinya biar sperma nggak tumpah lagi. Kami tahu betul kalau itu memang hanya hoax/mitos belaka. Namun kami selalu lakukan karena demikian putus asa. 

Mitos kedua adalah menabung sperma, ada seorang kolega kami yang bilang jika mau cepat hamil, jangan buru-buru melakukan hubungan intim. Kata dia, ada baiknya kami harus menunggu beberapa hari atau seminggu sekali agar spermanya "ideal" dan banyak. Sekali lagi, kami mengikuti saran orang lain. Padahal menurut penelitian, produksi sperma ideal umumnya terjadi setiap 2 hari. Alih-alih mempercepat kehamilan, menunda hubungan intim karena mau "nabung sperma" adalah menghambat kehamilan itu sendiri. 


Jalur tradisional sebagai upaya melarikan diri

Seorang kolega yang pernah mengalami pendarahan (karena keguguran), menyarankan kami agar pijat/urut rahim di Semarang, daerah Jl.Fatmawati. Namanya Bu Nah, seorang ibu paruh baya yang sebetulnya tidak buka praktik tapi sudah cukup terkenal keahliannya, pengalamannya pun sudah 35 tahun lebih. Kami semangat bukan main, mengingat kolega kami itu telah berhasil memiliki seorang putra yang teramat lucu setelah beberapa kali pijat di Bu Nah. Betul, semua itu karena memang telah direstui Tuhan. Tapi bagi kami yang putus asa ini, saran apa saja akan kami coba sambil terus berdoa.

Selama kurang lebih 4 kali dalam sebulan, kami bolak balik pijat di Bu Nah. Beliau juga menyarankan untuk periksa ke dokter, karena rata-rata orang yang datang pun sebetulnya juga telah mencoba periksa ke dokter. Berkali kami diberitahu betapa memiliki keturunan adalah kehendak Tuhan, tugas kita semua hanya berupaya tanpa putus doa. 

Kami diminta kembali lagi setelah saya menstruasi. Tapi selang sebulan pun saya tak kunjung menstruasi.

***

Pada penghujung Maret, dalam kebingungan kami kembali pada hari-hari penuh tanya, meski tetap gigih sebulan berlalu tanpa dua garis biru, dan tak ada tanda-tanda menstruasi juga. Kami tak pernah putus harap dan doa. 

Tapi kami sebetulnya nggak semurung itu, sih. Kami cuma sebel aja menjawab pertanyaan tendensius menyoal hamil dan punya anak. Seolah-olah kami menunda hamil, terlalu anggap enteng, atau gila kerja jadi nggak peduli dengan keturunan. Lagipula kami tahu, hal-hal seperti jodoh, rezeki, hidup, dan mati adalah sesuatu yang tidak bisa kami kontrol. 

Tenang aja, sebagai orang yang gemar pamer kesialan dan kebahagiaan, saya pasti kabarkan segalanya kepada warganet kok. Jadi daripada sibuk mencerca kami, alangkah baiknya turut berharap dan mengaminkan doa-doa kami berdua. 😜





5 Comments

  1. Tetep semangat.... Kamu gak sendirian... Yakin aja nnti juga bakalan dikasih sama Tuhan...

    Aku udah hampir 1,5 tahun aja masih muak sama pertanyaan orang2 kapan hamil ? dll...
    Saling doa yaa... Biar kita segera dikasih anugrah yg luar biasa sama Yang Maha Kuasa , ��

    ReplyDelete
  2. Semangat bby 💕💕

    ReplyDelete
  3. 💕💕💕

    ReplyDelete
  4. Semangat zakia dan suami. .kalau sudah waktunya pasti dikasih juga. .Dibawa happy saja. .Nikmatin pacaran setelah halal kalian.. Setelah punya anak waktu buat berdua saja mau gak mau bakalan agak berkurang..ambil positif nya aja. Belajar abaikan omongan orang yang dirasa "nyakitin hati" 🥰

    ReplyDelete
  5. Seloga Allah secepatnya memberikan kepercayaan utk kamu mendapatkan anugerahNya Jak.. semangat..

    ReplyDelete

Terima kasih sudah menanggapi postingan di atas!

My Instagram