#MenujuHamil - Diagnosed With PCOS



Kamis, 11 April 2021

Masih dalam perasaan campur aduk setelah beberapa kali mencoba posisi terbaik, pijat kesuburan, minum jamu ini itu, hingga mitos konyol soal hubungan seks, akhirnya kami mencoba langkah yang seharusnya kami ambil sejak awal: periksa ke dokter. Maka, hari ini kami menuju ke lokasi praktik Dr. Adi Rahmawan, SpOG di daerah Sendangmulyo, Semarang. Beliau adalah dokter kandungan yang sangat terkenal dan ahli pada bidangnya. Rekomendasi ini kami dapatkan dari salah satu rekan kerja Hazmi. Alhamdulillah, beberapa kawan saya begitu mendengar nama beliau, spontan menunjukkan reaksi yang positif, banyak review bagus mengenai beliau. Lega sekali mendengarnya. 

Ada sekitar 50-an antrean, tidak semua menunggu di klinik, rata-rata mereka hanya mengambil nomor antrean lalu pergi ketimbang bengong sampai tiba gilirannya. Kami datang sore hari pukul 17.30 menjelang maghrib, mengambil antrean ke-58 (kalau tidak salah) dan baru bisa masuk pada pukul 22.45 tepat 15 menit sebelum klinik tutup. 

Telat menstruasi tapi tidak hamil
Catatan keluhan saya telah ditulis petugas administrasi pada buku konsultasi kami: menstruasi tidak teratur (sudah 5 bulan sejak menstruasi terakhir Oktober 2020 lalu); berat badan naik drastis; namun setiap kali testpack selalu menunjukkan negatif. Dokter mungkin telah memiliki simpulan, mungkin ini bukan kasus pertama yang beliau tangani, dan mungkin beliau masih harus memastikan lagi. Beliau menanyakan beberapa pertanyaan:
"Apakah keluarga ada yang memiliki riwayat diabetes"
"Berapa kenaikan berat badan dari sebelum menikah hingga setelah menikah?"

Bersyukur tidak ada yang memiliki riwayat diabetes dari keluarga kami berdua. Kenaikan berat badan sebelum menikah saya 50 kg, begitu menikah hingga bulan Maret kemarin, sudah 65 kg. Untuk lebih yakin, dokter melakukan USG Abdominal menunjukkan gejala Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) di rahim saya. Kata dokter, singkatnya: telur saya kecil-kecil. Dokter mencoba menyederhanakan istilah agar kami memahami keadaan saya sebenarnya seperti apa. 

Dokter meresepkan beberapa obat, salah satunya pil KB untuk mengatur menstruasi, obat yang disebut metformin untuk mencegah diabetes, Inlacin menurunkan kadar glukosa.

Gambaran uterus normal dan PCOS
(credit: Klikdokter)

Saya minum obat setiap harinya, sesuai resep dokter hingga hari ke-7 saya menstruasi dan kami menemui dokter untuk USG Transvaginal pada hari ke-11 dari tanggal menstruasi saya. Pada pertemuan ini dokter menyarankan saya untuk tes kolesterol dan trigliserida, juga diet hingga penurunan berat badan sekitar 10-15% dari berat badan saya saat ini. Aduh. :')

Hari pertama menjadi penderita PCOS
Setelah dipastikan oleh dokter bahwa rangkaian gejala yang saya alami menunjukkan PCOS, saya lega. Setidaknya bukan kanker atau penyakit-penyakit mematikan lainnya. Lagipula ini keadaan yang bisa saja bersifat temporer. Saya yakin banyak perempuan PCOS yang berhasil hamil dan melahirkan. 

Begitulah kira-kira pikiran saya sejurus usai diagnosis dokter menyatakan saya mengalami PCOS. Saya denial. Menghibur diri sambil menolak segala kemungkinan terburuk. Orang-orang yang saya beritahu adalah keluarga saya: bapak ibu saya di kampung, dan mertua saya di rumah. Cara berpikir mereka persis seperti yang saya yakini sebelumnya. Mereka tenangkan dan hibur saya, disertai nasihat-nasihat khas orang tua. 

Lagi-lagi saya lega. 

Tapi dalam kesendirian, saya tak pernah bisa menyembunyikan tangis saya dan rasa bersalah paling mendalam atas diri saya sendiri. Berulang-ulang saya menyalahkan diri: SEMUA GARA-GARA LO!

Suara-suara itu selalu muncul setiap saya sendirian. Di mana pun. Kapan pun. Kadang-kadang di hadapan Hazmi, saya lampiaskan semua kemarahan diri kepada dia. Ya meski saya tahu seharusnya saya tidak begitu. 

Dia tampak santai dan pasrah, dia selalu meyakinkan saya bahwa segala yang kami alami ini telah digariskan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Menyalahkan diri hanya semakin memperburuk keadaan, menambah beban pikiran dan ujung-ujungnya memperlambat kesembuhan. 

Sulit bukan berarti mustahil, kan?
Kembali berpikir rasional, selama waktu tunggu saya demi menurunkan berat badan dan sesuai saran dokter, saya membaca berbagai artikel medis soal PCOS di berbagai sumber: jurnal, buku, internet. Yaaah.. meskipun saya nggak ngerti-ngerti amat, tapi saya berusaha mencari tahu apa yang harus saya lakukan, bagaimana saya harus menjalani hidup, makanan dan minuman apa yang boleh dan tidak boleh saya konsumsi, terapi apa saja yang harus saya jalani, dan banyak lagi. 

Saya tahu ini akan jadi perjalanan yang—mungkin sajamelelahkan bagi saya dan Hazmi. Berat karena saya harus melawan diri sendiri yang selalu suka makan dan jajan sembarangan, malas olah raga dan jarang bergerak. Tapi sekali lagi, sulit bukan berarti mustahil. 

Beberapa minggu berlalu, saya mulai muak dengan obat-obatan. Bagian terburuknya, saya menghentikan konsumsi obat yang telah diresepkan. 

Saya mulai diet asal-asalan, cuma bertahan sekitar 3-5 hari saja. Sebab saya memulai dengan cara yang salah: berhenti makan nasi putih. Hari pertama tentu rasanya biasa saja, excited karena saya bisa melewati dengan baik. Hingga hari ke-5 saya mulai bingung harus makan apa. Semua makanan yang saya sukai, tidak baik untuk tubuh saya. 

Saya berhenti diet. Diet ketat dan paling sembarangan di dunia. Hari-hari selanjutnya seolah jadi hari pembalasan setelah kurang dari seminggu saya makan-makanan sehat nan hambar. Otak saya mulai berpikir bahwa saya tidak seharusnya stress, jadi saya semakin menggila dengan makan apa saja. Apa pun makanan kesukaan saya sebelumnya. Saya makan tanpa memedulikan berapa kilo kenaikan berat badan, atau berapa kadar gula setiap makanan dan minuman yang saya konsumsi. 

Saya tidak peduli.

bersambung..

1 Comments

  1. I am waiting for the next journey, stay safe, positive and please loving yourself because the hardest part of staying sane in crazy situation is staying on loving ourself...

    ReplyDelete

Terima kasih sudah menanggapi postingan di atas!

My Instagram