HOW TO STAY CALM WHEN REALITY HITS YOU SO HARD


“Sometimes we create our own heartbreaks through expectations.” – anonymous

I don’t know the author of those words but it seriously can relate into my whole life (maybe for you either). Saya bisa bayangkan kekecewaan-kekecewaan itu mencuat dari kepala saya yang overthinking. Kemudian mereka menyapa saya untuk mengingat kembali soal rasa sakit dan pedihnya punya mimpi dan harapan. Tampaknya memang sudah jadi keniscayaan bahwa manusia ialah makhluk yang sepanjang hidupnya tak pernah berhenti berharap dan pupus oleh harapannya sendiri.

Barangkali begitu cara Tuhan menunjukkan betapa manusia tidak pantas bersombong diri atas rencana dan harapannya.
Kadang terlintas di kepala saya, mengapa ada rasa kecewa jika kelegaan itu lebih menenangkan? Padahal saya sudah berusaha menjadi manusia yang sungguh-sungguh biasa saja, nggak aneh-aneh, menjalani hidup layaknya manusia biasa lainnya; makan, minum, tidur, bangun, bok*r, ngantuk, dll. Tapi tetap saja saya nggak luput dari rasa kecewa mulai dari yang low, medium, hingga level high. Alih-alih mau marah ke Tuhan karena saya diperlakukan sedemikian sedihnya, saya malah berkaca, dalam hati saya bicara pada diri sendiri:
“jangan-jangan saya yang kurang syukur?”
“sepertinya memang saya yang kurang berusaha.”
“ah, saya saja yang lemah nan fragile.”
“doanya kurang sering nih.”
“payah, coba lebih deketin diri ke Tuhan.”
Dan kalimat-kalimat serupa yang membuat saya semakin tahu diri. *sigh*

***
Harapan-harapan yang pupus itu seringkali terulang dalam beberapa waktu, seolah memang saya punya jatah dikecewakan harapan sendiri dalam jumlah tertentu seumur hidup.

Saya pada usia SMP pernah berharap melihat cerpen atau puisi saya dimuat di surat kabar, tapi ternyata hanya sampai mading sekolah. Pada tingkat yang sama, pun saya berharap bisa punya banyak teman seperti sebagian besar “teman-teman” saya yang lain. Tapi saya waktu itu hanya jadi pecundang di sekolah yang bahkan untuk ke kantin saja hanya seorang diri. *duh gusti Allah huhuhu*
Setelah sekian tahun jadi pecundang di SMP, tingkat selanjutnya saya makin jadi manusia yang ambisius. Begitu gigih berusaha memenuhi keinginan saya bahwa suatu saat saya akan berdiri di depan lapangan upacara untuk menerima penghargaan atas lomba yang saya menangkan, bukan lagi sebagai siswi yang terlambat atau tidak mengenakan atribut lengkap. AND YASSS, I DID IT!

Setelah itu tidak banyak berubah. Makin sering berharap, makin sering patah hati. Tapi saya jadi makin terlatih juga. Saya makin paham mesti ngapain saat kekecewaan itu mencuat lantaran harapan saya menguap. Lama-lama justru saya anggap Tuhan sedang bercanda. Makin jarang saya anggap pupusnya keinginan saya yang terbentur dengan realita sebagai bencana.

It always hurts every time. But I’ve tried to feel fine and I seemed to know how to deal with it like a professional brokenhearted. I might be crying out loud or laughing out loud at the moment, but I know everything will be passed. God knows better, of course.

Lagipula kemana lagi kita lari selain menuju Tuhan jika sudah kepalang punya angan dan telah lelah berusaha sedemikian rupa? 
– Ibu

Kita mungkin bisa lebih patah hati lagi dari ini, lelah bukan main, dan mungkin juga selalu ada celah untuk kegagalan di berbagai sisi lain. Hingga pada akhirnya kita hanya punya semangat dan doa yang dirangkai pelan-pelan untuk membangunkan hati kita lagi dari keterpurukan.


Ketidakpastian terus ada, agar harapan dan doa-doa baik punya arti. 
– @Adimasnuel 

2 Comments

  1. lepasin aja perasaannya kalau sedih. enggak usah sok ditahan-tahan.
    paling setelah itu sadar dan bangkit lagi. kadang hidup memang sebercanda itu.

    oh, kalau gue sering overthinking gitu sih, gue lebih milih me time dengan pergi jalan sendiri, sambil berfikir di tengah keramaian. kadang dapet pencerahan saat itu. Allah enggak akan memberikan cobaan kepada hambanya diluar kemampuan hambanya. chill, zak.

    ReplyDelete

Terima kasih sudah menanggapi postingan di atas!

My Instagram