“Sometimes we create our own heartbreaks through expectations.” – anonymous
I don’t know the author of those words but it seriously can relate into
my whole life (maybe for you either). Saya bisa bayangkan
kekecewaan-kekecewaan itu mencuat dari kepala saya yang overthinking. Kemudian mereka menyapa saya untuk mengingat kembali
soal rasa sakit dan pedihnya punya mimpi dan harapan. Tampaknya memang sudah
jadi keniscayaan bahwa manusia ialah makhluk yang sepanjang hidupnya tak pernah
berhenti berharap dan pupus oleh harapannya sendiri.
Barangkali begitu cara Tuhan
menunjukkan betapa manusia tidak pantas bersombong diri atas rencana dan
harapannya.
“jangan-jangan saya yang kurang
syukur?”
“sepertinya memang saya yang
kurang berusaha.”
“ah, saya saja yang lemah nan fragile.”
“doanya kurang sering nih.”
“payah, coba lebih deketin diri
ke Tuhan.”
Dan kalimat-kalimat serupa yang
membuat saya semakin tahu diri. *sigh*
***
Harapan-harapan yang pupus itu seringkali terulang dalam beberapa waktu, seolah
memang saya punya jatah dikecewakan harapan sendiri dalam jumlah tertentu
seumur hidup.
Saya pada usia SMP pernah
berharap melihat cerpen atau puisi saya dimuat di surat kabar, tapi ternyata
hanya sampai mading sekolah. Pada tingkat yang sama, pun saya berharap bisa
punya banyak teman seperti sebagian besar “teman-teman” saya yang lain. Tapi
saya waktu itu hanya jadi pecundang di sekolah yang bahkan untuk ke kantin saja
hanya seorang diri. *duh gusti Allah
huhuhu*
Setelah sekian tahun jadi
pecundang di SMP, tingkat selanjutnya saya makin jadi manusia yang ambisius.
Begitu gigih berusaha memenuhi keinginan saya bahwa suatu saat saya akan berdiri di depan lapangan upacara untuk menerima penghargaan atas lomba yang
saya menangkan, bukan lagi sebagai siswi yang terlambat atau tidak mengenakan
atribut lengkap. AND YASSS, I DID IT!
Setelah itu tidak banyak berubah.
Makin sering berharap, makin sering patah hati. Tapi saya jadi makin terlatih
juga. Saya makin paham mesti ngapain
saat kekecewaan itu mencuat lantaran harapan saya menguap. Lama-lama justru
saya anggap Tuhan sedang bercanda. Makin jarang saya anggap pupusnya keinginan
saya yang terbentur dengan realita sebagai bencana.
It always hurts every time. But I’ve tried to feel fine and I seemed
to know how to deal with it like a professional brokenhearted. I might be
crying out loud or laughing out loud at the moment, but I know everything will
be passed. God knows better, of course.
Lagipula kemana lagi kita lari selain menuju Tuhan jika sudah kepalang punya angan dan telah lelah berusaha sedemikian rupa?
– Ibu
Kita mungkin bisa lebih patah
hati lagi dari ini, lelah bukan main, dan mungkin juga selalu ada celah untuk
kegagalan di berbagai sisi lain. Hingga pada akhirnya kita hanya punya semangat
dan doa yang dirangkai pelan-pelan untuk membangunkan hati kita lagi dari
keterpurukan.
Ketidakpastian terus ada, agar harapan dan doa-doa baik punya arti.
– @Adimasnuel
2 Comments
lepasin aja perasaannya kalau sedih. enggak usah sok ditahan-tahan.
ReplyDeletepaling setelah itu sadar dan bangkit lagi. kadang hidup memang sebercanda itu.
oh, kalau gue sering overthinking gitu sih, gue lebih milih me time dengan pergi jalan sendiri, sambil berfikir di tengah keramaian. kadang dapet pencerahan saat itu. Allah enggak akan memberikan cobaan kepada hambanya diluar kemampuan hambanya. chill, zak.
Menohok sekali
ReplyDeleteTerima kasih sudah menanggapi postingan di atas!