(credit: https://cabinetpsihologsibiu.wordpress.com) |
Janjian dengan dosbing lagi.
Ngetik lagi.
Ngedit lagi.
Ngantuk lagi.
Lanjut ngetik lagi.
Ngecekin hape lagi.
Ketiduran lagi.
Bangun lagi.
Ngedit lagi.
Ketiduran lagi.
Siap-siap ke kampus lagi.
Ngeprint lagi.
Nunggu dosbing lagi.
Diselak orang lagi.
Nunggu dosbing lagi.
Bengong lagi.
Masuk ruang dosen lagi.
Bimbingan lagi.
Revisi lagi.
Sumpek lagi.
Pulang kos lagi.
*ambil napas*
Nggak sih. Nggak selalu begitu.
Tapi begitulah setiap mau bimbingan.
“Halah begitu doang, aku dulu
bimbingan sampe nangis.”
“Ah, aku pernah mau bimbingan
malah ditinggal dosbingnya naik haji.”
Iya, iya. Kalian semua mungkin merasa
lebih berdarah dan lebih sakit dibanding saya deh. Perjalanan saya ngerjain
skripsi ini kan nggak ada apa-apanya dibanding kalian.
***
Sebagai mahasiswi tingkat akhir
yang dibelenggu skripsi dan darurat kelulusan, saya sebenarnya santai-santai
saja saat mengerjakan tugas akhir itu. Tidak kemrungsung. Tidak menaruh target
lulus nan muluk-muluk. Yaaaa yang penting cumlaude lah. Pokoknya saya
tetap pada personality saya yang pemalas kalem agar bebas pressure.
Saya mengerjakan sambil main
hape, sambil bengong di toilet, sambil scroll temlen IG atau Twitter, sambil
makan nasi padang belakang kampus, sambil #ibadahngopi, atau sambil baca
referensi di perpustakaan fakultas. Hari berikutnya bertemu dosen pembimbing
lagi setelah berulang kali mengajukan judul dan ditolak, lantas memberikan
proposal skripsi yang saya buat sungguhan.
Tentu saja tidak serta merta
disetujui. Berbagai perbaikan sana-sini cukup menguras pikiran saya yang tak
seberapa hebat ini. Tapi saya masih tetap santai dan pelan-pelan mengerjakan
itu, karena ya untuk apa buru-buru?
Lalu saya yang kelewat santai ini
mendapati satu demi satu kawan saya mulai sidang dan lulus silih berganti. Saya
ikut gembira, saya melompat girang dan mengikuti semua euforia kawan-kawan
seusai sidang. Sungguh menyenangkan.
Tanpa sadar bahwa sosok mereka sebenarnya akan segera menghilang...
Dulu saya nggak pernah percaya
pernyataan “kamu akan tau siapa kawan sejatimu ketika mengerjakan skripsi.” Hingga
saya sampai pada tahap ini dan menyadari. Kawan sejati saya adalah seseorang
yang berdiri di cermin, tepat di depan saya.
***
Semenjak kawan-kawan saya “menghilang”,
kampus bagi saya adalah ruang penyiksaan. Sebuah penjara yang semua penghuninya
ialah algojo dengan gada besi bergerigi dan rantai berkarat yang siap diayunkan
ke arah saya serta merta dalam bentuk pertanyaan: Bimbingan sendiri, mbak?; Kapan
sidang?; Skripsinya udah sampe mana?; Rencana wisuda kapan?; Gek ndang
dibarke, mbak; dsb.
Saking seringnya, sampai-sampai saya tidak bisa membedakan mana yang bercanda mana yang bencana.
Saya begitu memahami betapa harus
segera saya selesaikan pengerjaan skripsi yang biasa-biasa saja tapi cukup menguras
energi dan materi itu. Setiap bangun tidur, saya bercermin dan bertanya pada
diri sendiri: “Kapan sidang?”. Setiap bengong di toilet, saya bertanya lagi: “Kapan
wisuda?”. Setiap makan di burjo, saya kembali berpikir: “Kapan berhenti memeras harta orang tua?”. Setiap bangun dari ketiduran karena mainan laptop,
saya bertanya lagi: “Kapan ngerjain skripsi?”. Setiap selesai ngeprint, ada
lagi pertanyaan: “Kapan berhenti revisi?”. Setiap selesai bimbingan, di kepala
saya berteriak lagi: “Kapan istirahat, Jak?”.
Sebenarnya ngerjain skripsi itu
menyenangkan. Saya bisa bebas goblok-goblokin diri sendiri ketika tahu kesalahan ketik
atau keribetan kalimat yang saya susun sambil ketawa-ketawa konyol. Saya bisa
joget-joget sambil nyanyi keras-keras di depan laptop seolah tidak ada masalah
dalam hidup saya. Sungguh! Mengerjakan skripsi itu menyenangkan. Yang
membuatnya terjal dan penuh tekanan sebenarnya adalah orang-orang tidak sabaran
dan yang hidupnya tampak selo untuk mengomentari segala anggapan mereka soal “keterlambatan
dan kelambatan” saya. Mengapa mereka berisik sekali sih?
Padahal saya hanya sedang
menikmati semua proses dalam hidup saya. Padahal tanpa komentar dan tanya
orang-orang yang buru-buru itu, saya berpikir betul untuk segera menyelesaikan
ini semua. Padahal tanpa diolok-olok oleh mereka, saya jauh lebih mahir dan
lebih sering mengolok-olok diri sendiri. Padahal dibandingkan mereka, saya
sendiri jauh lebih penasaran dan ingin tahu juga kapan proses ini akan berakhir.
***
՚՚Apapun perjalanan berat dan panjang dalam hidupmu, ambil selangkah, demi selangkah.՚՚
– Edward Suhadi
Hari ini, saya memunguti kepingan
sisa-sisa hati dan harapan saya yang tempo hari patah dan terinjak.
Mengembalikannya ke tempat semula meskipun telah terkoyak. Menyiapkan senyum
termanis di bibir—meski wajah telah basah oleh derai airmata sendiri—demi seorang
kawan setia yang ada tepat di dalam cermin di depan saya.
Saya telah menyelesaikan bab
terakhir dalam skripsi ini. Esok ketika menghadap dosen pembimbing lagi, saya
akan tahu apakah halaman telah tersusun dengan benar? Adakah penomoran yang
masih berantakan? Sudah betulkah uji statistik yang saya lakukan? Kalimat mana
lagi yang mungkin akan dicoret? Buku apakah yang masih perlu saya jadikan
referensi? Langkah apa yang harus saya lakukan selanjutnya?
3 Comments
Semangat jak 😊
ReplyDeleteTerima kasih, Farah... :)
DeleteSemangat.. time will answer those questions..
ReplyDeleteTerima kasih sudah menanggapi postingan di atas!