#6 Waktu, Teh Hangat Pak Sarwi, dan Kekecewaan Bu Puji

Credit: Pinterest

If time be of all things the most precious, wasting time must be the greatest prodigality. - Benjamin Franklin

Beberapa waktu lalu, aku berdiri di depan kelas bersama sembilan kawan dengan wajah menunduk dan memendam malu karena mood kami semua dikacaukan oleh kejutan ini. Sepuluh orang mahasiswi bernyanyi bergantian di depan kelas dalam rangka menjalankan hukuman dari seorang dosen. 


Jujur saja, beliau adalah salah satu dosen yang kukagumi. Dosen Ilmu Politik yang terkenal disiplin ini, sebenarnya sama saja seperti ibu-ibu lainnya yang doyan belanja di pasar dan menyiapkan sarapan untuk anak dan suaminya. Tapi memang selalu ada bedanya, beliau lebih das-des-das-des dalam hal apapun. Termasuk saat duduk di balik meja dosen. 


Semestinya, pagi itu bukan beliau yang mengisi kuliah. Ada dosen lain yang seharusnya mengajar. Barangkali karena dosen lain itu lebih muda dan lebih santai, banyak kawan-kawan sekelas yang santai juga jika beliau-beliau—dosen muda—yang mengisi kelas. What a trap! Begitu sampai di kelas pukul 07.05 pagi, aku sudah melihat para tersangka keterlambatan berdiri pasrah dengan wajah lebih sendu daripada menerima kenyataan kuota internet yang habis pada akhir bulan. 

Jangan panik, jangan panik, jangan panik! 

***

Bapak mengayuh sepeda Federal tua warna biru—yang dia cat sendiri—dengan sangat terburu. Aku duduk di belakang sadel berkomat-kamit semoga ada keajaiban agar kami segera sampai di sekolah. Dengan seragam khaki yang basah keringat, bapak terus mengayuh sepedanya. 

Upacara sudah dimulai. Barangkali sudah setengah acara. bapak memotong jalan melewati samping gang karena kami sudah terlewat upacara pagi ini. Sepeda diparkir di depan rumah Pak Sarwi—seorang penjaga sekolah dasar—yang letaknya tepat di samping sekolah, berdempetan dengan ruang kelas I. 

Sampai di rumah Pak Sarwi, kami akan disuguhi teh hangat sambil menunggu selesainya upacara bendera di lapangan. Ini bukan kali pertama kami tidak mengikuti upacara bendera yang sudah jadi agenda setiap hari Senin di sekolah. Bagaimanapun, tindakan kami ini sudah pasti tidak dibenarkan dalam kajian pakar pendidikan apapun. Tanpa mengurangi rasa cinta tanah air, aku dan bapak sebenarnya memang ceroboh dalam mengatur waktu. Kami adalah orang yang santai dan sayangnya sangat kompak. 

Bapak mengajar di SD Negeri—entah sejak kapan—yang letaknya sekitar 2,5 km dari rumah. Setiap harinya kami berangkat naik motor Yamaha 75 yang lebih sering kami sebut Yamaha Tujuhlimpek karena businya sering rewel dan lebih sering didorong ketimbang dinaiki sesuai fungsinya. Kalau motor bapak sedang rewel, kami harus naik angkutan umum warna kuning—dulu angkutan umum ini masih beroperasi, sekarang sudah tidak dapat kutemukan lagi. Kalau kami kesiangan sampai kira-kira tidak akan menemukan angkutan umum, kami akan naik sepeda Federal tua bercat biru milik bapak. 

Sampai di sekolah, aku—waktu itu masih kelas I SD—akan segera berlari menuju kelas dan segera duduk setelah dipersilakan masuk. Tidak sulit untukku berkonsentrasi pada saat-saat seperti itu, kenyataannya aku selalu dapat mengikuti pelajaran dengan lancar. Jika bel istirahat berbunyi, aku akan berlari-lari ke ruang guru untuk minum teh bapak yang selalu jadi jatahnya setiap hari. Setelah itu baru pergi ke kantin atau main di halaman masjid yang masih di dalam area sekolah. 

Hanya sampai kelas 2 SD saja aku merasakan keramahan Pak Sarwi dan istrinya saat aku dan bapak "bersembunyi" karena terlambat ikut upacara bendera. Hanya dua tahun itu saja aku sudah tidak bisa lagi berlarian di lapangan menuju ruang guru untuk minum teh jatah bapak. Sudah tidak ada lagi kepanikan berangkat dengan angkutan umum, Yamaha Tujuhlimpek, atau pun sepeda Federal tua bercat biru. 

Bapak dipindahtugaskan mengajar di suatu daerah yang cukup terpencil dan cukup jauh dari rumah. :')

Iya, aku juga harus pindah di sekolah terdekat agar ada yang ngantar. 

***

Pagi itu sepuluh mahasiswi diganjar amukan sekaligus wejangan dari Ibu Dosen. Keterlambatan adalah kesalahan paling fatal bagi beliau. Dalam hati, aku terus mengiyakan semua ucapan beliau. Kekecewaan ini rasanya seperti mengecewakan ibu sendiri. 

Ini tidak hanya soal waktu. Bukan lagi soal bagaimana cari alasan tanpa amukan. Lebih dari itu, aku kembali lagi belajar bahwa keterlambatan sejajar dengan pengkhianatan. Kami mengkhianati kepercayaan beliau kepada kami yang semestinya paham betul bagaimana menghargai sesuatu bernama "waktu".

Keterlambatan ketika aku dewasa, ternyata tak semenyenangkan teh hangat dari Pak Sarwi saat aku melewatkan upacara bendera, tidak semudah cium tangan lalu duduk di bangku kesukaan, dan tidak pula dapat selesai dengan maaf-maafan. 

Bagiku—orang yang manajemen waktunya lebih kacau dibanding sarang burung—entah bagaimana memulainya, aku sedang terus berusaha memperbaiki diri. Aku tidak bisa terus-menerus bersikap ceroboh terhadap hidupku sendiri. Setidaknya, tidak mengecewakan orang dengan membuat mereka menunggu karena keterlambatanku. 


P. S Terima kasih untuk Ibu Puji Lestari. Menyenangkan bisa berada pada suasana tegang dan pasrah secara bersamaan sepagi itu. Ehehehe 😄 Dan pada akhirnya, inti dari post ini terdapat pada pernyataan Benjamin Franklin di awal post. 


#30Hari30Tulisan
#6

2 Comments

  1. ini ceritanya sedih humor apa gimana kak? maap belom baca 😑

    ReplyDelete

Terima kasih sudah menanggapi postingan di atas!

My Instagram