2018 |
Berawal dari unggahan sebuah akun instagram kenamaan tempat saya berasal: @cepueksis dengan tautan berikut https://www.instagram.com/p/B5cfWf_hRPE/ yang memuat video keruhnya Sungai Bengawan Solo sejak tanggal 25 November 2019 lalu. Saya putar kembali video tersebut dan menyimak riuh kolom komentar penuh resah kesah mengeluhkan kondisi Bengawan Solo terkini. Saya tercekat.
Saya bukan ahli lingkungan atau mahir dalam hal pengelolaan air, juga bukan peneliti DAS (Daerah Aliran Sungai). Sehingga, teman-teman tidak akan menemukan hasil penelitian bagaimana, sebab dan akibat sungai Bengawan Solo sedemikian keruh dan berbau busuk. Tulisan ini murni suara kerinduan seorang bocah akan masa kecilnya sebelum Bengawan Solo semengerikan sekarang.
***
Hampir tiap sore, kami para bocah yang bermukim di sekitar Bengawan
Solo—Cepu—bertemu di tepi sungai. Layaknya sebuah markas raksasa para bocah,
sepanjang tepi Bengawan Solo—yang paling sering kami sebut Nggawan—adalah surga
bermain. Tegalan warga, rimbun pepohonan, rumput yang kian lebat, hamparan
tanah liat yang mengering dan pecah-pecah, juga beragam perahu dan rakit yang
“diparkir” di tepi sungai ini, semuanya seolah milik kami sejak bakda ashar
hingga menjelang maghrib. Kecuali Minggu, seharian kami bisa berkeliaran di sana hehehe.
Rumput hijau membentang bagai beludru, di sana lah kami biasanya
leluasa merebahkan tubuh kami. Berguling-guling, berlari tanpa alas kaki,
menari dan menyanyi riang hingga lelah sendiri. Lalu berganti bermain gobak sodor, engklek gunung, gobak dhelik,
sepreng (lompat tali), futsal, atau apa saja semau kami. Tentu saja kami
juga bermain di perahu dan rakit, menjadikannya pijakan untuk melompat dari
perahu satu ke perahu lainnya. Rangkaian kegiatan bermain kami di tepi Nggawan
berakhir dengan jeguran, atau terjun main air sampai tiba-tiba telinga kami
dijewer oleh orang tua biar mau pulang. Kemudian kami dicecar mitos-mitos dan
segala cerita menyeramkan tentang Bengawan Solo, tujuannya jelas: agar kami
nggak sembarangan main di sana.
Tapi tak ada yang lebih menyeramkan dibandingkan video unggahan @cepueksis soal Bengawan Solo minggu lalu.
Seumur hidup, saya belum pernah melihat Bengawan Solo sedemikian
keruh nan mematikan. Ngeri betul sampai kebutuhan air bersih tak dapat dipenuhi
karena keteledoran—jika tak boleh dibilang goblok—oknum perusahaan membuang
limbah sembarangan di Bengawan Solo. Limbah dari industri kecil alkohol, batik,
dan peternakan babi bercampur membunuh biota sungai di dalamnya. Sakit hati
saya membayangkan ikan cucut yang dulu jadi teman bermain kami, begitu juga
ikan jendhil, keong, kijing, dan berbagai biota sungai lainnya mati misterius
karena cairan aneh buangan manusia secara keji. Keluarga, kerabat, dan
teman-teman ramai-ramai me-repost, menggiatkan tagar, mencolek pejabat daerah
atau aktivis lingkungan, hingga langsung mengirim pesan ke akun media sosial
Pak Ganjar.
Upaya kami tidak sia-sia, pesan dan mention kami ditanggapi baik
oleh Pak Ganjar. Pada Selasa, 3 Desember 2019 kemarin Gubernur Jawa Tengah
Ganjar Pranowo memimpin rapat penanganan pencemaran Bengawan Solo. Setidaknya
ada 15 perusahaan besar yang jadi penyebab tercemarnya Bengawan Solo. Semua
kanal berita mengabarkan pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa
seluruh perusahaan yang terbukti terlibat membuang limbah ke Bengawan Solo—secara
keji—untuk memperbaiki sistem IPAL(Instalasi Pengolahan Air Limbah) dengan
tenggat waktu 12 bulan. :’)
Merawat memang bukanlah hal yang mudah dilakukan dibandingkan merusak. Ketamakan manusia membuatnya semakin sulit menghormati alam. Sekadar
buang sampah saja kita semua harus selalu diingatkan dan ditakut-takuti sanksi
hukum. Kesadaran untuk hormat pada alam mesti dipajang di setiap jalan,
jembatan, sungai, kali, toilet, dari perumahan mewah hingga gang-gang kecil,
dan segala tempat adanya peradaban manusia.
Mungkin ada benarnya dugaan malaikat, manusia cuma bikin kerusakan di muka bumi.
***
Saya menyadari betapa saya sudah tidak berada pada masa bocah dan tidak akan mungkin mengulangnya kembali. Tapi setidaknya, saya—dan pasti teman-teman—bisa memperbaiki hari ini untuk masa depan. Menyayangi alam, menghormati semesta, mulai dari hal paling sederhana: membuang sampah pada tempat yang tepat. :)
2 Comments
memang sebenarnya di dunia ini, manusia adalah makhluk jahat.
ReplyDeletejika di dalam dirinya, lebih banyak di dominasi oleh rasa tamak, egois, serta dengki.
semoga pak Ganjar menemukan jalan keluarnya.
cakeppp jek 🤘
ReplyDeleteTerima kasih sudah menanggapi postingan di atas!