#10 Pandangan Para Filsuf

Credit: Pinterest

Aristoteles, seorang ahli filsafat Yunani percaya bahwa manusia adalah makhluk sosial atau biasa ia sebut Zoon Politicon. Menurut dia, manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan berinteraksi satu sama lain. Itulah yang menjadi pembeda manusia dengan hewan. Dengan kata lain, manusia memiliki keinginan untuk hidup bersama. Saya rasa semua orang paham dengan konsep ini. Kenyataannya kita semua bertemu dan berhubungan dengan manusia lainnya. Hari kita berjalan dengan terus terkoneksi orang lain. 

Dari sudut ruangan ini Adam Smith ikut bicara, dia bilang bahwa manusia adalah Homo Economicus. Manusia memiliki kebutuhan beragam dan tidak pernah merasa puas. Inilah mengapa manusia pada dasarnya memiliki ambisi dan sifat selalu ingin memperbaiki kualitas dalam hidupnya. Benar juga ya? 

Adam Smith ini kalau diajak Aristoteles untuk nongkrong bareng pasti maunya di cafe-cafe yang wi-fi-nya super kenceng, dengan musik selaw, hidangan dan kopi yang ajib, serta pelayanan cafe yg menyenangkan dengan harga bersahabat. Padahal Aristoteles sebenarnya lebih butuh ngobrol santai dan ketawa bareng-bareng aja. Hmmm... Homo Economicus-nya Adam Smith ini singkatnya menyebut bahwa manusia adalah makhluk yang "nggak mau rugi banget". *dikeplak*

Tunggu dulu! Thomas Hobbes ternyata masih keukeuh dengan Homo Homini Lupus-nya. Dia bilang situasi masyarakat sekarang ini diwarnai oleh persaingan dan peperangan. Siapa pun bisa jadi musuh. Ya, manusia adalah serigala bagi manusia lain. Demi tercapainya tujuan, manusia akan terus berjuang melawan persaingan apapun. Pendapat Hobbes ini memang telah banyak contohnya. Saya jadi ingat kisah Habil dan Qabil para putra Nabi Adam a.s. 

Baiklah, kita biarkan para filsuf ini ngopi bareng. Ini pasti akan sangat menarik. 

***

Ketiga pandangan ini nyata-nyata terjadi dalam hidup manusia. Harus saya katakan bahwa saya setuju pada ketiganya. Hanya saja, saya rasa manusia tidak akan terus-menerus terjebak dalam "persaingan", ada masanya manusia ingin sendiri, dan ada pula saat-saat di mana mereka nggak mau rugi. *dikeplak*

Pada usia hampir menginjak 22 tahun ini, rasanya saya dapat menjumpai bahkan menjadi ketiga tipe manusia yang diungkapkan oleh filsuf-filsuf di atas. Semakin beranjak dewasa, saya merasa semakin mengerti manusia-manusia macam apa yang saya butuhkan dalam hidup saya. Bukankah semakin dewasa maka hidup akan semakin kompleks? Masalah bukan lagi soal jatuh dari sepeda, layangan putus, uang jajan kurang, berantem rebutan mainan, rapor merah, kabel casan dicabut orang, atau gebetan ditikung kawan. Kita mengalami beragam masalah dan beragam jalan keluar yang berbeda, juga tokoh-tokoh beragam di tiap peristiwa. 

Pagi tadi seorang tetangga melewati jalan di depan rumah saya sambil menimang cucunya yang baru lahir beberapa waktu lalu. Sekadar bertegur sapa hingga ngobrol santai dengan Ibu dan saya. Lalu sebuah tanya ia lontarkan. 

"Lha ini anak wedok kapan mau kawin dan nyusul punya anak seperti anakku, Mbak?"

*traktakdungdungcessss!*
Credit: Instagram @sarcasm_only

Beruntungnya ibu saya menjawab dengan sangat manis. Saya bersyukur jawaban klise ini ternyata lumayan membantu setiap munculnya pertanyaan senada. 

"Kuliahnya biar selesai dulu, lalu kerja, setelah itu alhamdulillah kalau bisa segera nikah ya, nduk?" Ucap Ibu saya sambil melemparkan senyum pada saya. 

***

Beberapa dari kita yang sudah 18+ atau barangkali sewaktu masih sekolah sudah mesti menghadapi pertanyaan itu atau pertanyaan sejenis. 
"Kapan lulus?"
"Kapan wisuda?"
"Kapan kawin/nikah?"
"Kapan punya anak?"
"Kapan ini... itu.. Blablabla"

Apa anehnya dengan pertanyaan itu?  Wajar bukan?  Pertanyaan sederhana itu kan sudah umum. Kamu aja yang ribet. Hih. 

Baiklah. Katakanlah saya yang ribet. Sejujurnya saya bersyukur masih dapat bergurau dan menjawab dengan sangat jenaka setiap tanya itu muncul dari berbagai kalangan: keluarga, kawan, tetangga, guru, dosen, ibu kantin, orangtua kawan, atau orang-orang dari beragam circle. Karena telah lazim dipakai untuk bahan obrolan, lelucon, akhirnya pertanyaan ini jadi tradisi di setiap percakapan orang-orang yang dianggap-sudah-usia-kawin-tapi-nggak-kawin-kawin. Biar apa sih?  Entah. 

Beberapa kali saya merasakan dan melakukan analisis sederhana terhadap hal-hal di balik pertanyaan itu. Saya khususkan untuk pertanyaan "kapan kawin?".

Orang-orang ini—yang belum juga menikah—ternyata juga sudah lelah dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Raditya Dika juga bertanya-tanya mengapa kita hanya bisa dibilang komplit jika sudah menemukan soulmate kita. Jika sudah berdua dengan satu-satunya dia. Mengapa orang-orang seringkali menanyakan sosok "dia" yang bahkan kita sendiri juga bertanya di mana keberadaannya dan mengapa tak kunjung bertemu dengan kita(?). 

Adellina Fitriyani(@adelladellaide) juga menuliskan hal serupa di halaman tumblrnya terkait pertanyaan ini. Pertanyaan yang menurut orang-orang adalah hal yang sederhana untuk obrolan. Pertanyaan itu tak lagi sederhana bagi mereka yang hati dan otaknya telah lelah mencari, atau bagi mereka yang menuai kecewa dari komitmen yang gagal, atau bagi mereka yang sedang susah payah membangun kepercayaannya lagi atas keinginan menikahi-dinikahi, atau bagi mereka yang bahkan hatinya terlampau terluka. Lalu mereka harus menjawab tanya orang-orang itu hanya agar memuaskan rasa penasarannya? Atau sebagian justru jadi bahan lelucon? 

Seorang kawan saya, Mbak Kharissa Widya Kresna dalam #30Hari30Tulisan hari ke-2 yang dituangkan di halaman tumblrnya juga membahas betapa orang-orang seharusnya mencukupkan basa basi mereka yang sudah basi. 

Sayangnya jika menemukan seseorang yang dirasa sudah mampu tetapi tidak kunjung menikah, orang-orang akan cenderung berpikiran bahwa seseorang tersebut sengaja menunda-nunda pernikahan. Padahal tidak serta merta begitu. Mereka hanya tidak tahu seberdarah apa usaha untuk bertemu dengan seseorang kemudian menjadi berdua. Mereka hanya tidak tahu jika untuk sebagian orang, jatuh cinta dan memutuskan untuk hidup bersama adalah perjuangan yang tiada terkira sulitnya. — @krresna

Lantas, apa yang akan terjadi setelah pertanyaan itu sudah tak lagi lucu dan mencairkan suasana? Males kumpul lagi. Males ikutan lagi. Kebanyakan dari mereka akan mulai menghindari circle yang di setiap obrolan hanya menanyakan hal menyakitkan semacam itu. 

***

Bayangkan saja silaturahmi "terputus" hanya karena pertanyaan konyol yang dianggap "wajar" untuk ditanyakan dalam obrolan ringan. Karena bagaimana pun jika pertanyaan tersebut tetap dijawab, bukan berarti kelar perkara. Melainkan akan menuai pertanyaan susulan yang bertubi-tubi dan menuntut jawaban yang tidak gampang. 

Jadi, demi mencapai anggapan Aristoteles terhadap Zoon Politicon, marilah kita sama-sama menghargai segala urusan pribadi sahabat, kawan, tetangga, saudara atau orang lain tentang keputusan mereka terkait menikahi-dinikahi. Karena bagaimana pun, sesuai pemikiran Adam Smith bahwa manusia selalu punya ambisi dan sifat dasar memperbaiki kualitas hidup mereka. Percayalah bahwa kami yang sedang sendiri ini punya batasan dan alasan untuk mewujudkan keinginan-keinginan kami yang tidak semuanya harus sesuai dengan pikiran kalian. Thomas Hobbes benar, dalam lika-liku ini pun kami sedang bersaing dengan waktu, ego, atau manusia lain yang hadirnya bersifat menghambat kami untuk mencapai tujuan. 

"Berhentilah basa basi dengan hal-hal yang basi. Aku akan menikah jika dan hanya jika memang sudah tiba gilirannya.
Tentang kapan waktunya atau dengan siapa, mungkin kau bisa tanyakan sendiri pada Tuhan. Sebab sama seperti dirimu, hingga sekarang pun aku begitu ingin tahu." — @krresna

#30Hari30Tulisan
#10 

2 Comments

Terima kasih sudah menanggapi postingan di atas!

My Instagram