#18 Hadiah

Credit: Pinterest

“Sayang…sampun dhahar?” (bahasa Jawa: Sayang, sudah makan?)

Seseorang berteriak dari dapur dengan nada manja terdengar sampai ruang televisi.

Saya dan ketiga adik-adik saya spontan berteriak:

“Hiii, nggilani ok!” (bahasa Jawa: hiii menjijikkan deh) sambil tertawa terpingkal-pingkal.

***
Itu adalah suara ibu yang sedang memasak untuk makan siang kami semua. Panggilan Ibu kepada Bapak—yang masih di depan laptop dengan setumpuk buku-buku demi menyelesaikan laporan atau entah tugas apa yang harus segera dikerjakan—memang seringkali jadi candaan bagi kami semua. Setelah drama “panggilan sayang” Ibu dan Bapak, biasanya ibu akan menghampiri meja Bapak sambil membawakan sepiring makan siang untuknya. Lalu dalam pada hitungan ketiga akan terdengar suara:

Ndhuk, tolong gawekke es teh untuk Bapak.” 

Kalau sudah begini, saya dan adik perempuan saya akan saling pandang. Kadang-kadang kami berdua melakukan ping suit atau berakhir dengan:

Mbakma* ae ah.

Oke.

***

Jika Ibu sedang tiduran, biasanya kami akan langsung menghambur padanya dan berebut memeluknya. Iya, kami berempat. Masing-masing akan berebut dan mempertahankan daerah kekuasaannya. Adik perempuan saya pasti sudah mengincar posisi di samping kanan Ibu, ia memanangkan lengan kanan Ibu. Adik laki-laki tertua saya biasanya berhasil mendapatkan lengan kiri Ibu. Adik laki-laki saya yang terakhir sekaligus termuda selalu bisa berlabuh di atas badan Ibu. Baiklah, saya beritahu bahwa posisi saya berada di kaki Ibu. Memang, saya tak pernah memenangkan perebutan ini dengan ketiga saudara saya.

Tak apa, posisi saya paling dekat dengan surga. :')

Credit: Pinterest

Sayangnya, perebutan itu tak berlaku pada Bapak. *pukpukin Bapak* Apalagi kalau baru pulang mengajar. Bau keringat, bau matahari dan debu yang bercampur tidak akan membuat kami atau salah satu dari kami berempat tergerak untuk memeluk Bapak seperti yang kami lakukan pada Ibu. Situasi takkan berubah meskipun Bapak sedang wangi-wanginya. Padahal kalau dipikir-pikir dari keringat Bapak juga kami semua bisa jajan, makan, belanja, gegayaan, beli kuota, dan jalan-jalan, serta yang paling penting adalah hidup dengan layak.

Karena kekejaman pilih kasih ini, Bapak seringkali mencuri-curi kesempatan memeluk atau mencium kami dan memecah formasi kami berempat untuk merebutkan Ibu juga. Seringnya tidak berhasil. Tapi Bapak tak pernah menyerah.
Lalu kami akan bercanda sambil bercerita secara bergantian. Kami akan saling bercerita bagaimana hari kami semua berlalu. Apa saja yang kami temui. Begitu selalu. Bergantian. Sarat canda dan wejangan. Sekali lagi dengan formasi yang tak berubah. Bapak di mana? Sekenanya. Dia akan memilih di samping siapapun asal masih di kasur yang sama.

***

Banyak penelitian yang berhasil menarik simpulan bahwa perempuan adalah makhluk yang lebih sering menggunakan perasaan dan mengalami proses pendewasaan lebih cepat ketimbang laki-laki. Ayo kita sama-sama jujur bahwa kalian para perempuan seringkali membayangkan “masa depan” yang begitu jauh dan memang semua itu rasanya menyenangkan, bukan?

Saya pun.

Saya sudah membayangkan betapa inginnya saya menjadi ibu  seperti Ibu saya. Iya, saya ingin jadi ibu yang selalu membuat anak-anaknya jatuh hati. Menjadi tempat ternyaman untuk berbagi peluk, berbagi kisah, berbagi kasih, dan paling penting adalah berbagi makanan. Kau harus tahu masakan Ibu saya adalah yang terbaik di dunia.

Ibu, meskipun seringkali berbeda pendapat dengan saya, kehadiran dan kepeduliannya selalu jadi penawar segala pesakitan. Suara ibu saya sangat sejuk dan teduh ketika ia berbicara, bernyanyi, bersenandung, dan bergurau. Itu tak berlaku saat ia marah. Sebelumnya sudah saya ceritakan bagaimana marahnya Ibu kan, ya?

“Percayalah, kalau kamu ketemu versi muda ibuku, mungkin kamu akan lebih jatuh cinta padanya. Bukan padaku.” Ujar saya pada pasangan saya suatu waktu.

Tapi sepertinya tidak mungkin hal itu terjadi, karena sewaktu seusia saya kan Ibu sudah melahirkan anak pertama. Ehe.
Her face is my favorite. Hey, mom! 
Ibu memenangkan banyak hal ketimbang saya. Bagi saya, Ibu adalah perempuan yang sangat menjiwai perannya. Saya memang tak mampu sesempurna Ibu dalam menjalani peran sebagai perempuan. Dengan segala hal yang saya miliki dalam diri saya, pasti ciut juga bila dibandingkan dengan Ibu. Bahkan sekalipun di antara empat anaknya, saya selalu dibilang sangat identik dengan Ibu, tetap saja saya tak pernah bisa mengejar "kesempurnaan" Ibu saya. 

Ia adalah hadiah terindah bagi kami.

Tak hanya itu, Ibu juga dekat dengan kawan-kawan kami semua. Ia sangat hangat bagi semua kawan yang datang ke rumah. Ia kenal baik dan tak jarang ikut menemani kami ngobrol dan memperlakukan semua kawan kami dengan sangat ramah. Seolah mereka juga bagian dari keluarga kami.


Ibu adalah hal terbaik dan tercantik yang diberikan semesta pada kami. Apalagi kalau terlintas berbagai macam hal gila yang seringkali kami lakukan, tapi Ibu selalu bisa mengendalikan dan membuat kami kembali "berjalan bersamaan". Tidak mudah lho jadi Ibu kami. Ibu lolos tahapan "recruitment" ketat dari Tuhan. Melalui rahimnya, kami lahir dan terus tumbuh sebagai manusia sejak belum mengenal kata-kata sampai pinter ngata-ngatain. Ehe.

Itulah sedikit cerita tentang Ibu saya. Barangkali kamu sudah bertemu Ibu saya atau bahkan tahu cerita-cerita lain tentangnya. Nah, saya bisa pastikan dan yakinkan kamu bahwa Ibu saya juga akan jadi mertua yang paling menyenangkan dan sangat menenangkan.

Jadi, Ibu saya dan Ibumu baiknya memang besanan. Ehe. 

***

Ya Tuhan!
Saya harus bikin es teh untuk Bapak!
Well, nanti cerita lagi ya. Ekekekek 😗

*) Mbakma adalah nama kecil saya, diambil dari nama tengah "Sukma". Sejak kecil diucapkan oleh adik saya sewaktu mereka masih belum fasih bicara dan tetap dipanggil begitu hingga sekarang mereka sudah pada tua. Ehe.

#30Hari30Tulisan
#18

1 Comments

Terima kasih sudah menanggapi postingan di atas!

My Instagram