#7 Kawan

Credit: Pinterest

Ibuku baru saja menyiramku dengan segelas air dingin pada suatu pagi. Aku kaget bukan kepalang kukira kamarku bocor. Setelah kudapati ibuku sudah berdiri di dekat pintu kamar. 

"Perempuan baligh tak tahu waktu, mengabaikan ibadah subuh seenaknya. Sudah pegang kunci surga?  Seenaknya leha-leha, ayo bangun!" 

Aku tadinya sudah kesal dan mau menjawab ibuku, tapi sepertinya sia-sia. Tuhan tak akan bantu. Dia ada di pihak ibuku. Aku yakin. Jadi pagi itu aku langsung bangkit dari tempat tidurku untuk segera ambil air wudhu. 

Pada pagi yang lain, ketika aku melewatkan ibadah subuh setelah Emak—panggilanku untuk nenekku—membangunkanku berkali-kali dan ibuku saat itu masih khusyuk berwirid. Omong-omong, aku tinggal bersama emak sejak kecil. 

Menurutku, ibu sudah tahu kalau pagi itu aku melewatkan sholat subuh. Karena sejak pagi hingga siang, ibu tak mau kuajak bicara. Sampai dzuhur tiba, setelah aku keluar dari ruang sholat, ibu berbicara dari dapur. 

"Lho kok sholat, kenapa?" 

Itu bukan pertanyaan. Aku hanya menjawab sekenanya. Setelah itu ibu pasti akan mulai membawa segala hadits dan berbagai dalil lainnya. Sampai sehari bahkan seminggu, ia tidak akan lupa kalau aku pernah melewatkan waktu sholat barang sekali saja. Memang. Bagi ibuku, tidak ada kompromi lagi untuk orang yang meninggalkan ibadah. 

***

Pasca dipindahtugaskannya Bapak, aku agak kaget sewaktu diantarkan di sebuah sekolah berbasis agama Islam yang letaknya sekitar 700 meter dari rumahku. Aku memulai kelas 3 SD di sekolahku yang baru setelah bapak keluar dari ruang kepala sekolah pagi itu. Dengan seragam dan segala atribut sekolahku sebelumnya, aku mantap memulai sekolah baruku hari itu juga. 

Agak canggung. Karena seragam yang berbeda dan semua siswi di sini berkerudung. Setelah perkenalan, pak guru mempersilakan aku duduk. Beberapa siswi di dekatku mengajakku berkenalan, mereka sangat menyenangkan. Beberapa adalah tetanggaku sendiri. 

Aku mulai beradaptasi dengan lingkungan baru dan semua suasana baru ini. Melihat semuanya sebagai awal yang baru. Pandanganku terhenti pada beberapa siswa yang menatapku tajam. Aku hanya tidak mengerti mengapa. 

"Kok kamu ngga pake kerudung?"

Setelah bel istirahat berbunyi, sebuah pertanyaan dari salah satu kawan tiba-tiba saja membuyarkan lamunanku. Untuk siswi kelas 3 SD, pertanyaan ini sebenarnya sangat sederhana dan tidak butuh jawaban yang berbelit-belit. 

"Iya, aku kan dari SD Negeri. Sekolahku nggak mewajibkan pakai kerudung."

Aku tidak begitu ingat detail jawabanku pada mereka yang bergantian menanyaiku. Namun tiba-tiba lagi ada seorang siswa yang-entah-siapa berkata sesuatu. Perkataan yang sangat kuingat sampai sekarang. 

"Iyalah, orang kafir kan begitu. Hiii.." kata siswa dengan badan tambun dan berambut bros itu. 

Sekali lagi. Aku hanya anak kelas 3 SD pindahan, pernyataan siswa itu tentu saja memancing emosiku. Aku memang tidak bekerudung saat itu, karena seperti yang kusampaikan kalau di sekolahku tidak diwajibkan memakai jilbab atau kerudung. Tapi aku paham betul arti perkataan itu. Aku hanya tak bisa mengerti, mengapa justru itu diucapkan oleh siswa yang bersekolah di sekolah yang berbasis agama Islam. 

Belakangan, akhirnya aku tahu bahwa siswa itu termasuk yang "pegang" kelas. Dia sudah dua tahun tidak naik kelas—kalau tidak salah. Sejak saat itu, hari-hariku terus saja diganggu bahkan meskipun aku telah mengenakan seragam sekolah ini. Siswa itu dan kawan-kawannya terus saja menilaiku "kafir" dan mengajak kawan-kawanku untuk menjauhiku. Seringkali justru aku merasa kasihan pada mereka. Seolah kebahagiaan mereka bergantung pada seberapa buruk hariku di sekolah. 

Aku ingin menceritakan bagaimana detail hari-hariku di sekolah ini. Tapi pasti makan waktu dan post ini bisa jadi sangat panjang nantinya. Karena aku ingat semuanya. Sangat detail. 

Sudah bukan lagi hal baru jika aku berantem dengan siswa-siswa jahat itu. Bukan hal aneh pula jika banyak siswi yg menahanku dan memisahkan kami. Aku tidak peduli bagaimana pandangan orang terhadapku yang suka berantem saat itu. Bagiku, itu normal. Manusiawi. Sebab aku hanya ingin melawan dan membela diri. Bukankah itu wajar? Aku hanya anak kelas 3 SD pindahan yang saat itu sering diganggu—dan harus menghadapi mereka sendirian. Aku melawan sebisaku. Tapi terserah jika kau menilaiku sebaliknya. Aku tidak berhak mempengaruhimu dalam menilaiku. 

Sampai terjadi berbagai skandal, hingga berkali-kali aku harus berurusan dengan guru dan kepala sekolah, lalu orang tuaku harus terus berjuang membuatku nyaman untuk tetap bersekolah di sini. Harus kukatakan bahwa aku terluka secara fisik dan psikis. Aku yakin guru-guru pun tahu. Harus kukatakan pula bahwa aku pun menyesal karena mereka tidak berbuat hal-hal yang signifikan untuk membantuku. Aku menyayangi semua guru-guruku yang-meskipun-mereka-tahu-kebenarannya-dan-tak-berbuat-apa-apa setidaknya untuk melindungiku. Aku menyayangi dan menghormati mereka semua, tapi aku berjanji pada diriku sendiri bahwa nantinya aku tak mau jadi guru seperti mereka. Untuk pernyataanku ini, aku sangat meminta maaf kepada guru-guruku. 

Aku tidak ingin hidup dalam dendam, namun meskipun semua telah berlalu sangat lama, dan telah saling memaafkan. Nyatanya, aku tak pernah bisa lupa. Ingatan ini sungguh masih terasa menyakitkan. :')

Meskipun aku pernah mengalami hari-hari berat, aku masih memiliki beberapa kawan yang mempercayaiku. Orang-orang yang tetap bersamaku dan sangat mengerti apa artinya "kawan". Semoga Tuhan selalu memberikan yang terbaik untuk kawan-kawanku itu. 

Pada saat-saat seperti ini, ingin rasanya aku menjelma menjadi salah satu guru di sekolahku dulu dan membantu "aku" melewati hari-hari berat itu. Menyelamatkan masa kecilku sendiri. Tapi semua memang sudah lewat dan yang tersisa hanya harapanku agar tak ad hal serupa terjadi pada anak-anak lain di negeri ini. 


***

Siang itu, kupeluk ibuku dan meminta maaf karena tidak becus mengatur hidupku sendiri. Bahkan sampai lupa "menyapa" Tuhan subuh tadi. Jika ibu galak padaku perihal ibadahku, aku mengerti bahwa itu semua semata untuk mendidikku hari ini dan hari depan. Tapi itu tak lantas membuat ibu lupa bahwa sedang "menghukumku" karena tidak melaksanakan kewajibanku subuh tadi. Hmm.. 

***

Hari ini, aku sedang sarapan bersama kawan-kawanku di belakang kampus fakultas kami. Kami duduk di meja panjang di sebuah "warteg" bercat hijau yang cukup ramai pelanggan. Kami tertawa bersama, membicarakan berbagai hal tanpa peduli dan mengecilkan asal daerah, kepercayaan, cara berpakaian, logat bahasa, masa lalu dan impian masa depan masing-masing. 

Berkawan dengan orang-orang toleran itu menyenangkan. 😃


P.S Bagaimanapun juga, aku berterima kasih pada sekolahku dahulu yang telah mengajarkan berbagai cara bertahan hidup dalam hari-hari berat. Sehingga aku selalu bersyukur bahwa hidupku asyik! 😆 

#30Hari30Tulisan
#7

3 Comments

Terima kasih sudah menanggapi postingan di atas!

My Instagram