Credit: Pinterest |
If love is enough, why do we need solo trip? Ehe.
Sebagai manusia yang mudah
terserang mager syndrome alias males gerak ke mana-mana, saya termasuk jenis
manusia yang jarang jalan-jalan alias kurang piknik. Apalagi berperan menjadi
anak rantau di kota yang nggak besar-besar amat. Selaku anak
kosan yang selalu merindukan liburan dan kampung halaman, maka sempurnalah
hari-hari gabut saya. Saya hidup dengan schedule yang gitu-gitu aja;
ngampus, nugas, scroll temlen, kangen, masak, makan, ngopi di
kafe(kalo punya duit, atau bikin kopi tubruk sendiri), tidur, buang hajat, repeat.
Fortunately, saya sanggup bertahan dan terus bersyukur dengan aktivitas
tersebut. Tapi tak dapat dipungkiri, saya pun manusia biasa yang mudah bosan.
Jadi, saya mikir keras untuk
mencari jalan keluar dari kebosanan ini. Setelah googling, membaca berbagai
macam artikel, sampai mencari tutorial anti-suwung di youtube, saya menemukan
jawaban yang mungkin saja bisa menyelamatkan saya dari syndrome kurang
piknik: Solo trip!
Sekitar awal April hari Sabtu,
saya menetapkan pilihan untuk main ke Solo. Alasannya tentu saja karena
Semarang-Solo itu cukup dekat, ada kawan—yang rela direpotin—demi nggak perlu
cari hotel atau penginapan yang mahalnya na’udzubillah, dan pastinya ada sebuah
tempat yang sudah lama masuk wishlist untuk saya kunjungi.
Pada pukul 07.00 saya bergegas ke
Stasiun Semarang Poncol demi mendapat tiket kereta ke Solo—jadwal keberangkatan
kereta pukul 08.40. Harga tiket kereta pun cukup murah, yakni Rp.10.000, jadi
dibanding naik travel atau bus, naik kereta adalah pilihan paling ajib demi
kenyamanan perjalanan, juga kenyamanan dompet.
Nahasnya, setiba saya di stasiun,
tiket sudah terjual habis—padahal itu baru pukul 07.40. YA ALLAH SAYA MAU
NANGIS RASANYAAA. Kehabisan tiket adalah salah satu patah hati terbaik saya
selama ini. Jadi, mau tidak mau, saya harus naik bus sendiri dari stasiun ke
Terminal Terboyo lalu mencari bus tujuan Solo—saya lupa nama busnya, pokoknya
Rp.25.000 untuk sampai ke Solo.
Kawan saya yang tinggal di
Solo—Mbak Emma—sudah saya kabari bahwa saya menuju Solo dan kemungkinan sampai di
sana siang itu juga. Turun di Terminal Tirtonadi, saya tidak langsung ketemu
Mbak Emma, karena kami kucing-kucingan a la pilem India. Begitu bertemu, Mbak
Emma menyambut saya dengan sangat hangat. Dan otomatis demi menghindari naik
bus yang selain lebih mahal dan lebih ugal-ugalan, saya diantar Mbak Emma untuk
reservasi tiket—yang masya Allah antrenya lebih dari 3 jam karena saking
ramenya.
Sampai di rumah Mbak Emma, beberapa bagiannya sedang direnovasi—berdasarkan analisis tetangganya—karena Mbak Emma mau lamaran. Ekekekek. *dijewer*
Saya tiduran di kamar Mbak Emma
yang wangi, rapi, banyak bukunya, banyak legonya, cukup mencerminkan kamar
perempuan, dan demi apa nyaman bangeeeettt. Sampai-sampai saya tanya apa Mbak
Emma berminat untuk meyewakan kamarnya yang tampak berbakat jadi kosan nyaman
bagi pelajar dan mahasiswi macam saya. *digeplak*
***
Sejak awal, tujuan saya adalah
memenuhi janji ngopi dengan Mbak Emma di kotanya—Solo. Kafe yang ingin kami
kunjungi malam itu adalah YELLOW TRUCK COFFEE AND TEA! Tapi sebelum ke sana,
kami berkendara keliling Kota Solo, melewati beberapa public space, monumen,
keraton, dan alun-alun kota. Berhenti sejenak di depan Pasar Triwindu, pasar
barang antik yang kala itu sudah tutup. Kami beli es puter dari bapak-bapak
yang rambutnya dikuncir ekor kuda. Saya sempat mengabadikan fotonya, biar a la –
a la anak street-photography gitu. Ehe.
Setelah ibadah maghrib, kami
berangkat menuju YELLOW TRUCK COFFEE AND TEA. Kami ngopi sampai sekitar pukul
22.00 di sana. Selebihnya terkait apa saja yang kami lakukan dan kami temui,
akan saya tulis di post berikutnya. Ehehehe.
***
“KAMU NGAPAIN KABUR SENDIRI KE
SOLO SIH JAK?!”
Begitulah sebagian besar respon
kawan-kawan saya ketika mengetahui saya baru melakukan perjalanan seorang diri
alias minggat ke Solo. Jawaban mendasar adalah saya baru putus.
Solo trip itu adalah semacam terapi sendiri atau ritual menyelamatkan diri dari patah hati sekaligus pencarian jati diri dan cinta—itu pun kalau ada.
Solo trip itu adalah semacam terapi sendiri atau ritual menyelamatkan diri dari patah hati sekaligus pencarian jati diri dan cinta—itu pun kalau ada.
Pada usia 21 tahun ini, saya
belum pernah merasakan ultimate freedom dalam hal jalan-jalan. Ya mau
bagaimana, ke mana pun saya pergi, saya harus ijin orangtua perihal: tujuan,
dengan siapa, bawa apa, sedang apa, sampai kapan, dan lain sebagainya. Pokoknya
birokrasinya berbelit-belit dan bikin kesel. Kalau pun bisa ngetrip, paling
jauh ke Yogya bersama 3 kawan saya, itu pun alasannya survey tugas kampus—yang berakhir
dengan kena tilang dan kena copet. Tapi kali ini saya jujur dong, saya mau
pergi ke Solo untuk wisata ngopi. Bagaimana pun, saya akhirnya dapat meyakinkan
orangtua bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Saya nggak punya target
macam-macam perihal jalan-jalan. But time flies, and I grow up so fast. Jadi,
setelah solo trip itu, there’re so much things should be underlined, and
some reasons of why do we need solo trip before we’re too old to do it.
1. Ultimate “Me-Time”
Sebelumnya saya pernah menulissebuah post tentang pentingnya me time di sini.
Bosen adalah sifat wajar manusia.
Apalagi menghadapi kehidupan sehari-hari yang gitu-gitu aja. Solo trip bisa
menjadi terobosan gemilang untuk kemonotonan hidup kita, kawan-kawan! Solo
trip offers the time and space for every each of us. Ketika masalah datang
tiada henti, tempaan hidup tak pernah berakhir, apalagi hubungan asmara lagi
nggak bener, kerjaan kampus atau kantor bikin pusing, atau weekend selama ini
dijalani dengan gegoleran nggak jelas yang percumtakbergun dan sangat tidak
produktif, GO AHEAD AND TAKE A DAY TO SOLO TRIP, ENJOY THE ME TIME!
Credit: Pinterest |
Talk to yourself, you’ll know what you really need, what should you do next, or you’ll gonna find the trully you.
2. Kawan Baru
Selagi ngetrip sendiri, apalagi
yang akan kita jumpai selain kawan baru? Meet the strangers, talk to them,
find new cultures, find new places, or new friends—if you want. Selain
mengunjungi tempat baru, kemungkinan kita mendapat kawan baru saat sedang solo
trip juga cukup menyenangkan. Di Solo, saya mengunjungi seorang kawan baru yang
beberapa tahun lalu bertemu tanpa disengaja melalui blogpost, hingga kemudian
kami saling mengunjungi—Mbak Emma ke Semarang, lalu saya ke Solo.
Bertemu dengan kawan baru berarti
juga bertemu dengan pola pikir lain, sudut pandang dan pendapat yang berbeda
dari kita. Tentu akan memberi wawasan baru pada diri sendiri akan kehidupan
lain dari yang biasa kita lihat setiap harinya.
3. Menjawab Tanda Tanya
Seringkali saya bertanya pada
diri sendiri: “What would I even do with myself?”
Credit:Pinterest |
4. Hemat
Sebagai anak kosan yang hidup
dengan harta berlimpah pas-pasan, solo trip membantu saya menghemat
pengeluaran yang dianggarkan untuk jalan-jalan. Kalau biasanya saya melakukan
perjalanan bersama kawan, tentu membutuhkan yang namanya urunan alias patungan
untuk kebutuhan bersama dan menyisihkan yang lain untuk kebutuhan pribadi. Sangat
mudah mengatur anggaran sendiri dibanding anggaran barengan, apalagi kalau
kawannya agak susah dimintai iuran. Huhuhuhu, itu bukan jadi liburan, tapi
malah jadi tekanan.
Credit: Pinterest |
5. Ultimate Freedom
Solo trip adalah istilah lain
dari merdeka jalan-jalan sendiri tanpa ada yang ngerecokin dan bikin ribet.
Namanya juga sendiri, apa-apa ya diurus sendiri. Bebas! Apa saja yang saya
ingin bawa, tujuan saya, durasi ngetrip, dan duitnya berapa, semuanya saya atur
sendiri.
Berdasarkan pengalaman
jalan-jalan bersama kawan, seringkali yang terjadi hanya berujung menjadi
wacana alias bokis semua. Ribet di awal, mulai dari jumlah yang mau
ikut, penentuan waktu dan tempat, sampai diskusi macam-macam sebegitu panjang
lebar dan percuma karena kebanyakan dari rencana berakhir dengan: “Kalau si anu
nggak ikut, aku juga nggak ikut deh”; “Kalau nggak jadi ke sini, aku nggak ikut
ya.”; “Tanggal segitu aku ada acara.”
Akhirnya sebuah pertemanan
berantakan karena kegagalan rencana jalan-jalan. Seqiyan~
***
Masing-masing kita pasti memiliki
rutinitas yang beragam, begitu juga setiap kita tentunya memiliki kebosanan
pada waktu-waktu tertentu terhadap kesibukan yang monoton itu.
Mungkin kawan-kawan punya tips lain selain solo trip, mungkin tips yang lebih hemat dan lebih dekat alias nggak perlu sampai minggat ke luar kota demi ketenangan jiwa dan raga. Silakan tulis di kolom komentar yaaa!
If things don’t go well, the entire trip can be a miserable, drama-filled time you’d love to forget. Make some new brilliant memories! — Anonimous
P.S Untuk cerita selengkapnya di
Solo akan saya tulis di postblog selanjutnya. Terima kasih sudah membaca! ^^
5 Comments
Kasur tipis gitu kau bilang nyaman? Cetek sekali standarmu 😂
ReplyDeleteMongomong ada part inti yg jauh lebih berkesan di aku Jak, tapi kok ga diceritain disini yaaa...
Part aib. 😂 😂😂
Kenyamanan tidalah terletak pada tipis atau tebalnya sebuah kasur. - Edi Bopeng, Kang galon.
DeleteNg, soal aib itu...
Nanti kutraktir ngopi aja ya mbak, :)))
Semua bisa diomongin baik2 yaaaa :*
Padahal aku juga lg bikin rencana trip sendiri nih mbak. Tapi alesannya gak sama hehe :)
ReplyDeleteGo ahead lah dew, main sendiri, explore sendiri, Ekekekek.
DeleteKalo udah, ceritain di blog yaap! Kutunggu!
Mantab! Sampai jumpa di Solo. Traktir ngopi ya. *malak*
ReplyDeleteTerima kasih sudah menanggapi postingan di atas!