Credit: Tumblr |
Sewaktu saya baru masuk SMP, ada beberapa
lembar angket yang mesti saya isi terkait kegiatan ekstrakurikuler yang
nantinya akan saya ikuti selama di sekolah. By
the way, saya masuk di SMP 2 Cepu. Hehehe. Ada serangkaian tes yang
harus saya jalani sebelum masuk SMP ini. Tentu saja tak semudah beberapa tahun
terakhir ini, yang mana cukup dengan adu nilai ujian nasional SD, lantas bisa
langsung masuk tanpa ada seleksi lagi.
Saya mengambil ekstrakurikuler musik, seni baca Al-Qur’an, dan pramuka—karena ekstra ini wajib. Sedangkan Ibu menyarankan agar saya mengambil ekstra olahraga dan semacam silat-silatan atau bela diri, katanya sih biar fisik saya terlatih dan kuat. Apalagi kalau melihat berita yang mengerikan terkait tindakan asusila terhadap perempuan, Ibu sering mewanti-wanti bahwa bela diri adalah sesuatu yang mesti perempuan kuasai, at least untuk melindungi diri sendiri. Saya bergidik kalau melihat ekspresi ibu saat sedang bercerita berbagai kengerian yang terjadi pada perempuan, dan akhirnya...saya tetap mengambil ekstra yang enggak ada olahraganya, juga enggak ada beladirinya. I pretty sure with my idiot thought that I was strong enough and I have so much time to take an exercise everyweek. LOL. I haven’t.
***
2016, awal semester 4.
Setelah memarkirkan kendaraan kami—saya dan
Saskia—berjalan pelan secara beriringan menuju Pasar Johar yang letaknya berada
di seberang jalan. Seperti biasa, saya akan berjalan di samping kanan Saskia.
Setidaknya kami harus berjalan lagi selama 20 meter untuk sampai ke sana. Jalan
raya cukup padat meskipun saat itu matahari sedang terik dan bukan main
panasnya. Dari kejauhan seorang pria separuh baya sambil cengengesan berjalan
lurus ke arah kami berdua. Ia mengenakan kemeja merah marun, bertopi,
berkacamata hitam, dengan celana jeans plus ikat pinggang yang cukup mentereng, dan bersepatu pantofel.
Kami terus saja berjalan santai, hingga sesuatu terjadi setelah pria tua itu melewati
kami.
Tap!
Salah satu tangannya menepuk pantat saya.
Spontan saya kaget dan langsung berteriak pada pria tua yang mempercepat
jalannya.
“WOY, SIALAN! APA –APAAN NIH! ANJING!”
Please
don’t get me wrong and judge me by those words—tapi kalau mau ngejudge sih ya terserah. I didn’t really know how to control
my emotion. I screamed out loud. But what
actually I really want
was punch his face so hard.
Ia menoleh sambil cengengesan dan segera
menyeberang jalan. Saskia melongo tidak
mengerti apa yang baru saja terjadi pada saya—dan pantat tepos saya.
“Kenapa, Jak?”
Setelah mendengar cerita saya, Saskia pun
kaget dan tidak habis pikir atas apa yang baru saja saya alami. Saya pun
demikian. Mungkin kalian sempat
bertanya, apa enggak ada orang di
sekitar kami, atau apa enggak ada
yang dengar saya teriak, atau memangnya enggak
ada yang sadar atas perbuatan si kakek tua sialan itu? Nobody nearby said a word, nobody chased after the damned
old man, nobody asked me if I was OK, people seemed like they didn’t see what
went wrong. Hanya ada kendaraan yang berlalu-lalang, di samping itu ada renovasi
pasar—karena sebelumnya terjadi kebakaran—dan trotoar sempit itu memang hanya
ada kami berdua yang berjalan, tapi saya
yakin teriakan saya cukup terdengar meskipun hampir 10 meter jarak kami dengan
kios pedagang di pasar.
Jujur
saja saya kecewa dengan diri saya sendiri yang saat itu hanya mampu berteriak,
padahal kalau saya kejar kakek tua sialan itu pun masih bisa terkejar dan
barangkali saya tidak akan mengalami penyesalan sedalam ini. Kesalahan saya: I didn’t fight back.
Jakia
0 - 1 kakek brengsek.
***
Sebagai anak rantau, yang langsung terpikir di kepala
saya adalah menelpon orantua. Meskipun rasanya sudah terlambat
bercerita, setidaknya suara Bapak selalu dapat menenangkan saya dan
‘menyembuhkan’ saya. Saat itulah saya mulai berpikir, harusnya sejak SMP saya
ambil ekstra silat-silatan atau beladiri biar bisa menjaga diri sendiri apalagi ketika sedang jauh seperti ini.
Jakia
0 - 1 Ibu.
Saya juga sempat mengabari Mas tentang hal ini, tapi ia hanya
tertawa—barangkali dia kira saya bercanda—hingga kemudian dia bilang, “Coba
kalau Mas di situ, pasti Mas kejar dan tonjok itu orang tua.”
Tapi Mas enggak di sana. :’)
***
Catcalling ini bukan hal
yang baru dibicarakan. Permasalahan catcalling—yang
dianggap sebagai jembatan orang-orang mata keranjang melakukan tindak
asusila—terus disorot, namun masih banyak yang kasusnya dilupakan hingga
terjadi lagi berulang, beberapa bahkan tidak diproses dengan serius karena
kurangnya saksi mata, bukti, dan lain sebagainya. Catcalling pada dasarnya tidak hanya menyerang perempuan, melainkan
transgender dan bahkan laki-laki. Tapi, mari kita fokus kepada makhluk yang
paling sering mengalami catcalling(di
hampir sepanjang hidupnya) : perempuan.
Enggak
ada yang bilang menjadi perempuan itu mudah. Apalagi ketika melalui masa
pubertas yang demi apapun—honestly—itu
sangat menyakitkan dan menakutkan. Perempuan remaja mulai berhadapan dengan
yang namanya “catcalling” entah dari
mas-mas gabut, om-om nongkrong or basically male in general. Hampir semua perempuan pernah mengalami catcalling, dan sebagian besar dari
mereka selalu merasa terganggu—bahkan beberapa merasa terancam—karena catcalling itu. Sampai saat ini, saya
belum pernah ketemu orang-orang yang merasa nyaman dengan catcalling, atau malah merasa
spesial dengan cara semacam itu.
Ada
sebagian orang yang menganggap: Catcalling
itu kan udah biasa, wajar, lagipula itu cuma sebatas sapaan iseng. Harusnya bersyukur ada yang sudi
godain kamu. So why’d you get upset?
Iseng
iseng gundhulmu!
Girls, just so you know, catcalling is a form of street harassment—which is close to sexual harassment.
Catcalling itu macem-macem model dan metodenya.
Mulai dari yang “innocent”, such as: assalamu’alaikum, cantik; mau
ke mana, neng; sendirian aja, mbak; senyum dong, mbak; abang temenin ya and etc, sampai yang paling vulgar, such as: dog whistling, the stares, and moreover physical contact.
Mereka
yang melakukan catcalling atau para catcallers semata tidak benar-benar
memuji perempuan, mereka tidak benar-benar mengucapkan salam agar kita
benar-benar selamat—seperti makna salam sebenarnya—tidak pula sebagai tindakan
yang positif bagi kita. Saya nggak ngerti para catcaller ini gabut, suwung,
nggak tahu diri, atau emang mesum dari
lahir sehingga melakukan catcalling dan mempercayainya sebagai suatu “budaya” atau kewajaran
bahwa sifat laki-laki memang seperti itu.
Padahal enggak
juga sih, saya membaca, mengenal, dan mengetahui banyak laki-laki
yang—hamdalah—tidak sepicik itu.
Sebuah
video social experiment tentang catcalling yang viral di Youtube
memberikan gambaran jelas perilaku-perilaku catcallers
yang seringnya akan mengganggu seorang perempuan pejalan kaki. Mereka bersiul,
mencari perhatian, menyeringai, bahkan mengikuti perempuan tersebut—menciptakan situasi yang tidak nyaman dan sebagian
bahkan terasa seperti ancaman.
Well, if you think the catcallers just do it for those beautiful
girls. You’re totally wrong!
Catcallers menyerang hampir semua perempuan
yang melintas, tidak melulu hanya karena perempuan itu cantik atau seksi.
Tidak. Saya nih
yang volume bumper depan dan belakangnya enggak
seberapa, dengan muka pas-pasan begini aja minimal bisa 4-5 kali mendapat catcalling setiap harinya. Mulai dari
berjalan ke kampus yang letaknya lebih kurang 50 meter dari indekos, beli makan
di warung pinggir jalan, atau ketika hendak belanja di minimarket terdekat.
Lantas, apa tujuan catcallers
itu? Saya juga nggak ngerti, kalau memang tujuan
mereka demi mendapat perhatian, kenyataannya enggak
ada perempuan yang sudi memperhatikan atau ekstrimnya sampai
mau-maunya jadian dengan catcallers tersebut.
Catcalling tidak lebih dari sebuah pelecehan terhadap martabat seseorang, baik itu perempuan, laki-laki, maupun transgender! So if you see or being the victim of catcalling, please speak out and fight back!
***
Tapi jika kawan-kawan perempuan sungguhlah tidak
keberatan dengan aksi catcallers
tersebut, itu kembali lagi kepada kalian. Hehehe. Saya terketuk menulis artikel
ini setelah membaca tulisan Hannah Al-Rasyid di magdalene.co yang bercerita tentang pengalamannya melawan
catcallers dan seketika membuat saya
merasa tolol karena tidak secekatan dia. Juga artikel dari beberapa kawan
blogger yang mengulas hal serupa.
Terakhir, saya ingin mengaminkan harapan seorang kawan
perempuan.
Credit: Google Image |
I dream of the day when I can walk home (or anywhere) without getting catcalled and/or whistled at by abang-abang PKL, mamang-mamang ojek pangkalan, bapak-bapak chatting in group at poskamling or basically men in general. — zulfana desnatya imama
#30Hari30Tulisan
#24
1 Comments
Wonderful, what a blog it is! This website provides useful information to
ReplyDeleteus, keep it up.
Terima kasih sudah menanggapi postingan di atas!