#24 NO MORE CATCALLS

Credit: Tumblr
Sewaktu saya baru masuk SMP, ada beberapa lembar angket yang mesti saya isi terkait kegiatan ekstrakurikuler yang nantinya akan saya ikuti selama di sekolah. By the way, saya masuk di SMP 2 Cepu. Hehehe. Ada serangkaian tes yang harus saya jalani sebelum masuk SMP ini. Tentu saja tak semudah beberapa tahun terakhir ini, yang mana cukup dengan adu nilai ujian nasional SD, lantas bisa langsung masuk tanpa ada seleksi lagi.

Saya mengambil ekstrakurikuler musik, seni baca Al-Qur’an, dan pramuka—karena ekstra ini wajib. Sedangkan Ibu menyarankan agar saya mengambil ekstra olahraga dan semacam silat-silatan atau bela diri, katanya sih biar fisik saya terlatih dan kuat. Apalagi kalau melihat berita yang mengerikan terkait tindakan asusila terhadap perempuan, Ibu sering mewanti-wanti bahwa bela diri adalah sesuatu yang mesti perempuan kuasai, at least untuk melindungi diri sendiri. Saya bergidik kalau melihat ekspresi ibu saat sedang bercerita berbagai kengerian yang terjadi pada perempuan, dan akhirnya...saya tetap mengambil ekstra yang enggak ada olahraganya, juga enggak ada beladirinya. I pretty sure with my idiot thought that I was strong enough and I have so much time to take an exercise everyweek. LOL. I haven’t.



***


2016, awal semester 4.
Setelah memarkirkan kendaraan kami—saya dan Saskia—berjalan pelan secara beriringan menuju Pasar Johar yang letaknya berada di seberang jalan. Seperti biasa, saya akan berjalan di samping kanan Saskia. Setidaknya kami harus berjalan lagi selama 20 meter untuk sampai ke sana. Jalan raya cukup padat meskipun saat itu matahari sedang terik dan bukan main panasnya. Dari kejauhan seorang pria separuh baya sambil cengengesan berjalan lurus ke arah kami berdua. Ia mengenakan kemeja merah marun, bertopi, berkacamata hitam, dengan celana jeans plus ikat pinggang  yang cukup mentereng, dan bersepatu pantofel. Kami terus saja berjalan santai, hingga sesuatu terjadi setelah pria tua itu melewati kami.


Tap!


Salah satu tangannya menepuk pantat saya. Spontan saya kaget dan langsung berteriak pada pria tua yang mempercepat jalannya.


“WOY, SIALAN! APA –APAAN NIH! ANJING!


Please don’t get me wrong and judge me by those words—tapi kalau mau ngejudge sih ya terserah. I didn’t really know how to control my emotion. I screamed out loud. But what actually I really want was punch his face so hard.


Ia menoleh sambil cengengesan dan segera menyeberang jalan. Saskia melongo tidak mengerti apa yang baru saja terjadi pada saya—dan pantat tepos saya.


“Kenapa, Jak?”


Setelah mendengar cerita saya, Saskia pun kaget dan tidak habis pikir atas apa yang baru saja saya alami. Saya pun demikian.  Mungkin kalian sempat bertanya, apa enggak ada orang di sekitar kami, atau apa enggak ada yang dengar saya teriak, atau memangnya enggak ada yang sadar atas perbuatan si kakek tua sialan itu? Nobody nearby said a word, nobody chased after the damned old man, nobody asked me if I was OK, people seemed like they didn’t see what went wrong. Hanya ada kendaraan yang berlalu-lalang, di samping itu ada renovasi pasar—karena sebelumnya terjadi kebakaran—dan trotoar sempit itu memang hanya ada kami berdua yang berjalan, tapi saya yakin teriakan saya cukup terdengar meskipun hampir 10 meter jarak kami dengan kios pedagang di pasar.


Jujur saja saya kecewa dengan diri saya sendiri yang saat itu hanya mampu berteriak, padahal kalau saya kejar kakek tua sialan itu pun masih bisa terkejar dan barangkali saya tidak akan mengalami penyesalan sedalam ini. Kesalahan saya: I didn’t fight back.



Jakia 0 - 1 kakek brengsek.



***



Sebagai anak rantau, yang langsung terpikir di kepala saya adalah menelpon orantua. Meskipun rasanya sudah terlambat bercerita, setidaknya suara Bapak selalu dapat menenangkan saya dan ‘menyembuhkan’ saya. Saat itulah saya mulai berpikir, harusnya sejak SMP saya ambil ekstra silat-silatan atau beladiri biar bisa menjaga diri sendiri apalagi ketika sedang jauh seperti ini.



Jakia 0 - 1 Ibu.



Saya juga sempat mengabari Mas tentang hal ini, tapi ia hanya tertawa—barangkali dia kira saya bercanda—hingga kemudian dia bilang, “Coba kalau Mas di situ, pasti Mas kejar dan tonjok itu orang tua.”



Tapi Mas enggak di sana. :’)



***



Catcalling ini bukan hal yang baru dibicarakan. Permasalahan catcalling—yang dianggap sebagai jembatan orang-orang mata keranjang melakukan tindak asusila—terus disorot, namun masih banyak yang kasusnya dilupakan hingga terjadi lagi berulang, beberapa bahkan tidak diproses dengan serius karena kurangnya saksi mata, bukti, dan lain sebagainya. Catcalling pada dasarnya tidak hanya menyerang perempuan, melainkan transgender dan bahkan laki-laki. Tapi, mari kita fokus kepada makhluk yang paling sering mengalami catcalling(di hampir sepanjang hidupnya) : perempuan.



Enggak ada yang bilang menjadi perempuan itu mudah. Apalagi ketika melalui masa pubertas yang demi apapun—honestly—itu sangat menyakitkan dan menakutkan. Perempuan remaja mulai berhadapan dengan yang namanya “catcalling” entah dari mas-mas gabut, om-om nongkrong or basically male in general. Hampir semua perempuan pernah mengalami catcalling, dan sebagian besar dari mereka selalu merasa terganggu—bahkan beberapa merasa terancam—karena catcalling itu. Sampai saat ini, saya belum pernah ketemu orang-orang yang merasa nyaman dengan catcalling, atau malah merasa spesial dengan cara semacam itu.



Ada sebagian orang yang menganggap: Catcalling itu kan udah biasa, wajar, lagipula itu cuma sebatas sapaan iseng. Harusnya bersyukur ada yang sudi godain kamu. So why’d you get upset?


Iseng iseng gundhulmu!



Girls, just so you know, catcalling is a form of street harassment—which is close to sexual harassment.


Catcalling itu macem-macem model dan metodenya. Mulai dari yang “innocent”, such as: assalamu’alaikum, cantik; mau ke mana, neng; sendirian aja, mbak; senyum dong, mbak; abang temenin ya and etc, sampai yang paling vulgar, such as: dog whistling, the stares, and moreover physical contact.



Mereka yang melakukan catcalling atau para catcallers semata tidak benar-benar memuji perempuan, mereka tidak benar-benar mengucapkan salam agar kita benar-benar selamat—seperti makna salam sebenarnya—tidak pula sebagai tindakan yang positif bagi kita. Saya nggak ngerti para catcaller ini gabut, suwung, nggak tahu diri, atau emang mesum dari lahir sehingga melakukan catcalling dan mempercayainya sebagai suatu “budaya” atau kewajaran bahwa sifat laki-laki memang seperti itu.



Padahal enggak juga sih, saya membaca, mengenal, dan mengetahui banyak laki-laki yang—hamdalah—tidak sepicik itu.



Sebuah video social experiment tentang catcalling yang viral di Youtube memberikan gambaran jelas perilaku-perilaku catcallers yang seringnya akan mengganggu seorang perempuan pejalan kaki. Mereka bersiul, mencari perhatian, menyeringai, bahkan mengikuti perempuan tersebut—menciptakan situasi yang tidak nyaman dan sebagian bahkan terasa seperti ancaman.



Well, if you think the catcallers just do it for those beautiful girls. You’re totally wrong!



Catcallers menyerang hampir semua perempuan yang melintas, tidak melulu hanya karena perempuan itu cantik atau seksi. Tidak. Saya nih yang volume bumper depan dan belakangnya enggak seberapa, dengan muka pas-pasan begini aja minimal bisa 4-5 kali mendapat catcalling setiap harinya. Mulai dari berjalan ke kampus yang letaknya lebih kurang 50 meter dari indekos, beli makan di warung pinggir jalan, atau ketika hendak belanja di minimarket terdekat.



Lantas, apa tujuan catcallers itu? Saya juga nggak ngerti, kalau memang tujuan mereka demi mendapat perhatian, kenyataannya enggak ada perempuan yang sudi memperhatikan atau ekstrimnya sampai mau-maunya jadian dengan catcallers tersebut.



Catcalling tidak lebih dari sebuah pelecehan terhadap martabat seseorang, baik itu perempuan, laki-laki, maupun transgender! So if you see or being the victim of catcalling, please speak out and fight back!


***



Tapi jika kawan-kawan perempuan sungguhlah tidak keberatan dengan aksi catcallers tersebut, itu kembali lagi kepada kalian. Hehehe. Saya terketuk menulis artikel ini setelah membaca tulisan Hannah Al-Rasyid di magdalene.co yang bercerita tentang pengalamannya melawan catcallers dan seketika membuat saya merasa tolol karena tidak secekatan dia. Juga artikel dari beberapa kawan blogger yang mengulas hal serupa.



Terakhir, saya ingin mengaminkan harapan seorang kawan perempuan.

Credit: Google Image



I dream of the day when I can walk home (or anywhere) without getting catcalled and/or whistled at by abang-abang PKL, mamang-mamang ojek pangkalan, bapak-bapak chatting in group at poskamling or basically men in general. zulfana desnatya imama


 #30Hari30Tulisan
#24

1 Comments

  1. Wonderful, what a blog it is! This website provides useful information to
    us, keep it up.

    ReplyDelete

Terima kasih sudah menanggapi postingan di atas!

My Instagram