Kehadiran


Di kampusku, mahasiswa bisa mengikuti ujian hanya apabila jumlah kehadiran minimumnya 75% dari jumlah seluruh pertemuan. Aku tidak tahu bagaimana dengan kampusmu. Jumlah kehadiran jelas berpengaruh dengan nilai kita ketika yudisium. Kalau selalu hadir dalam perkuliahan, tentu mahasiswa itu siap diuji bukan? Soal nilai sudah bukan lagi urusan kampus, melainkan berada pada kemampuan masing-masing mahasiswa. Tapi setidaknya, jumlah kehadiran sungguh berpengaruh. Bukankah begitu? Tapi aku tidak sedang membicarakan aturan kampus.
***
Kita telah berdua dalam waktu yang kukira cukup lama. Jatuh dan bangunmu, jatuh dan bangunku, dan hari-hari biasa kita berdua, kita masih belajar bersama. Sebelum dan sesudah ada kamu, tentu semuanya berbeda. Sangat jauh berbeda. Karena setelah ada kamu, senyum dan tangisku kini telah bernama. Jatuh cinta pada seseorang berarti sama dengan memilih siapa yang melambungkan dan mematahkan hatimu, begitu kata seseorang. Aku lupa siapa yang mengatakan ini. Mungkin seorang penulis, atau penyair. Entahlah. Tapi dia memang ada benarnya.

Semenjak ada kamu, aku selalu berpikir sepertinya doaku selalu dikabulkan Tuhan.

Konyol sekali ya? Padahal aku ini bukan termasuk hamba-Nya yang taat. Tapi ketika aku memohon agar Dia mengirimkan seseorang yang mampu bersamaku pada saat-saat jatuh dan bangunku, kamu datang. Kita bertemu. Jelas ini adalah takdir. Begitulah yang kurasa selama ini. Bersamamu kini semuanya menjadi masuk akal. Apa aku berlebihan? Siapa peduli. Hehehe

Aku gemar sekali membuat konstruksi-konstruksi waktu dan berbagai peristiwa yang terbangun di kepalaku. Meletakkan namamu di dalamnya dan berbagai kemungkinan-kemungkinan baik menjadi satu konstruksi megah. Dan satu-satunya batas hanyalah imajinasiku.

***

Kamu tentu tahu aku ini banyak kurangnya. Tapi seperti yang kukatakan awal kita bersama, bagaimanapun keadaannya, akan kuusahakan aku ada. Ketika kamu mengeluh harimu berat, ketika kamu bilang suasana hatimu begitu buruk, saat harimu begitu suntuk, kamu begitu sibuk, atau bahkan waktumu begitu sempit, dan kamu sedang ada pada titik terendahmu. Aku tak pernah ingin kamu melewatinya seorang diri. Kurasa, aku telah berusaha selalu ada. Meskipun tetap saja aku pernah luput.

Aku selalu merasa bahwa hadirku tentu sangat bernilai bagimu. Meskipun mungkin aku tak dapat menyelesaikan semua masalahmu, atau membuatmu lebih baik. Setidaknya kamu tidak melewatinya sendirian. Setidaknya aku ada.

Kalau ada sistem atau alat pengukur kehadiran antara kita berdua. Aku bertaruh 80% aku selalu hadir untukmu. Kepercayaan diriku berada di puncaknya saat mengatakan ini. Sampai suatu ketika kamu mempertanyakan ini dan aku cukup terperanjat dengan kenyataan bahwa ternyata kamu merasa aku keliru, aku tak memahamimu, aku tak cukup bisa mengerti kamu.

Jika ada yang bertanya kapan aku merasa sangat tidak berguna. Maka sekarang lah saatnya. Ketika ternyata semua yang kuusahakan untukmu justru kamu pertanyakan kembali dan tak pernah dihargai. Seolah semuanya tidak pernah terjadi.

Aku terus berkaca. Di kepalaku kuputar lagi semua peristiwa antara kita berdua. Kurasa memang aku tak sempurna, tapi aku telah melakukan semuanya: Berusaha sekeras mungkin untuk selalu ada. Untukmu.

***

Aku selalu mengatakan ini padamu: jangan pernah menghilang ketika kamu bosan. Tolong, semuanya bisa kita bicarakan ‘kan? Aku membuka lagi chat kita yang telah berlalu, obrolan demi obrolan yang telah terjadi, dan mendapati satu kesimpulan yang tak selesai: Mengapa kamu masih merasa sepi, sedangkan aku terus berusaha menampakkan diri? Dalam waktu apapun.

Aku juga ingin kamu berkaca, sebetulnya. Siapa yang sedang kamu bilang “tak pernah ada” untukmu. Siapa yang sebenarnya “menyia-nyiakan waktu”. Siapa yang sebenarnya “tidak pernah dihargai”. Mampukah kamu mengingatnya dan menemukan jawabannya?

Sayang, kekasihku.. aku ingin kamu membaca ini dengan pikiran terbuka dan hati yang lega. Aku ingin tahu darimu, berapa sebetulnya persentase “hadirku” untukmu sejauh ini?

Karena sejauh ini untuk sebuah harga kehadiran, kukira jika dinilai. Seharusnya aku mendapat nilai A.

1 Comments

  1. sedih bacanya.
    mau komentar juga takut salah, karena enggak paham juga sama masalahnya.

    kalo ini kisah nyata, semoga semuanya baik-baik aja, zak.

    ReplyDelete

Terima kasih sudah menanggapi postingan di atas!

My Instagram